Rabu, 01 Desember 2010

Menghadapi 8 Karakter Negatif dan Solusinya

Sumber: Vivanews
Hubungan yang sehat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan jiwa. Namun, kerapkali kita terjebak dalam hubungan dengan sosok yang memiliki karakter 'negatif'. Mereka umumnya sering mengeluh, mudah marah, atau tidak sabar.

Mengenali karakter seseorang di awal perkenalan menjadi penting. Apalagi jika ada prospek melanjutkannya dalam hubungan yang lebih serius. Kenali sejumlah karakter seseorang, seperti dikutip dari Times of India.

1. Memelihara masa lalu
Beberapa orang menolak melepaskan masa lalu dan cenderung 'merawat' kenangan menyakitkan. Akibatnya, orang ini hidup dengan kemarahan dan kepahitan. Bila terjadi terus menerus, dapat mempengaruhi orang yang berada di sekitarnya.
Solusi: Jika mereka mulai memunculkan subjek masa lalu, jangan ragu memberitahu dia bahwa Anda tidak ingin membicarakannya.

2. Mengasihani diri sendiri
Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada orang yang merasa menanggung beban seluruh dunia. Alih-alih mencari solusi, orang tipe ini terus mengasihani diri sendiri dan tidak melihat jalan keluar.
Solusi: Tawarkan bantuan dan jika masih tidak mau berubah, sebaiknya menjauh darinya.

3. Munafik
Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada berhubungan dengan orang yang memiliki sifat 'lain di mulut lain di hati'. Di depan Anda, dia muncul orang yang paling manis, namun bersikap sebaliknya di belakang Anda.
Solusi: Jika Anda menangkap ini terjadi berulangkali kepada orang lain, segera jauhi. Bukan tidak mungkin dia melakukan hal serupa kepada Anda.

4. Selalu negatif
Dia adalah jenis orang yang selalu memandang hal negatif dari hidup mereka.
Solusi: Bantulah melihat sisi positif dari dirinya. Jika tidak mau menerima, jangan biarkan hal negatif itu mempengaruhi Anda.

5. Paling sempurna
Orang seperti ini biasanya merasa lebih baik dan menarik daripada orang lain. Ia sangat menikmati aktivitas mengkritik dan menertawai orang lain.
Solusi: Bersikap sabar dengan perilakunya. Namun, jika mereka tidak berubah, sudah saatnya Anda untuk meninggalkannya.

6. Bangga mengumbar rahasia
Mereka sangat bangga menceritakan skandal dalam hidup dan senang melibatkan sebanyak mungkin orang dalam perdebatan.
Solusi: Bisa saja Anda dapat mendengarkannya. Namun bila mempengaruhi diri sendiri, segera menjauh.

7. Frustasi
Orang ini selalu merasa frustrasi dengan hidupnya dan melampiaskannya pada orang lain di sekitarnya. Bahkan, seringkali mereka mengambil kesimpulan yang irasional.
Solusi: Jika ia mulai merencanakan sesuatu yang gila katakan bahwa hal itu mengganggu Anda.

8. Sang Komentator
Orang seperti ini mengomentari semua yang terjadi dalam kehidupan orang lain. Seringkali, perkataan mereka menimbulkan perkelahian.
Solusi: Berhati-hatilah bila berada di sekitar orang tersebut dan berhati-hati dengan perkataan Anda.

Minggu, 31 Oktober 2010

Pembunuhan Karakter Yang Sangat Kejam


Harusnya, para orangtua menanamkan pada anak-anak orientasi hidup yang kuat dan bersifat spiritual

Oleh Mohammad Fauzil Adhim*

RABU, 11 Oktober tahun 2006, seorang juri yang disebut ustadz berkata kepada salah satu kontestan Pildacil yang baru saja usai memberikan “tau­shiyah”. Juri ini berkata, “Kamu terbaik saat ini. Ini yang diinginkan juri. Beberapa tahun ke depan, rumah dan mobil kamu akan mewah. Kamu juga akan bisa membangun masjid.”

Fantastis. Sebuah “nasihat” yang membuat miris, sehingga tak cukup hanya dijawab dengan tangis. Sebuah “nasihat” yang seharusnya membuat orangtua ngeri membayangkan masa depan anak-anaknya, kecuali jika pertanyaan yang menguasai benak kita tentang anak-anak adalah apa yang akan mereka makan sesudah kita tiada. Bukan apa yang mereka sembah, sehingga apa pun yang mereka kerjakan hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala.

Bukan­kah Allah Ta’ala sudah berfirman?

“Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".” (Al-An’aam: 162-163).

Inilah orientasi hidup yang perlu kita hunjamkan ke dada anak-anak kita. Kita hun­jamkan keinginan untuk menolong agama Allah ke dalam hati mereka sekuat-kuatnya. Se­moga dengan itu, ia menjadi orang yang ikhlas dalam memberikan hartanya, hidupnya, dan dirinya bagi agama ini. Sesungguhnya, amal itu bergantung pada niat. Jika anak-anak itu ke­lak menyembah Allah karena mengharap dunia, maka mereka tidak akan memperoleh akhi­rat. Sedangkan dunia belum tentu mereka dapatkan. Na’udzubillahi min dzaalik.

Adapun jika mereka membaktikan shalat, ibadah, hidup dan matinya untuk Allah semata-mata, maka sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Insya Allah mereka akan mampu menggenggam dunia dengan tangan kanannya, sedangkan di akhirat menanti surga yang penuh barakah. Allahumma amin.

Kuatnya orientasi hidup inilah yang harus menjadi perhatian kita; para orangtua dan pendidik di sekolah. Bahkan seandainya yang kita inginkan dari mereka adalah kesuksesan karier di dunia ini, kita harus menanamkan pada anak-anak kita orientasi hidup yang kuat dan bersifat spiritual. Dalam tulisannya yang bertajuk Educational Psychology Interactive (2000), W. Huitt menunjukkan bahwa seorang brilliant star (bintang brilian) –istilah Huitt tentang me­reka yang memiliki prestasi luar biasa melebihi orang-orang sukses pada umumnya—biasa­nya memiliki ciri spiritual yang sangat khas, yakni disciple & devout. Disciple berarti ia sangat percaya pada gagasan atau ajaran seorang pemimpin besar atau guru spiritual. Sedangkan devout menunjukkan ketaatan yang sangat kuat.

Masih menurut riset W. Huitt. Seorang brilliant star juga memiliki ciri sosial yang tran­senden. Apapun yang ia lakukan di masyarakat adalah dalam rangka mewujudkan perintah Tuhan di muka bumi dan menjadi pelayan yang rendah hati bagi ummat manusia. Ia berbuat banyak, bahkan melampaui yang bisa dilakukan orang lain, tetapi selalu merasa belum ber­­buat apa-apa yang pantas bagi orang lain. Ia banyak memberi manfaat, tetapi selalu merasa apa yang dilakukan belum cukup untuk mensyukuri nikmat Allah ‘Azza wa Jalla.

Apa yang bisa kita petik dari catatan Huitt tentang bril­liant star? Kunci paling pokok untuk mengantarkan anak meraih sukses adalah membentuk jiwanya, membangun motivasinya, membakar semangatnya, dan mengarahkan orientasi hidupnya semenjak dini. Kita bakar semangatnya untuk bersungguh-sungguh melakukan yang terbaik demi sebuah idealisme yang buah­nya ada di surga. Kita tumbuhkan pada dirinya orientasi hidup yang bersifat spiritual sejak usia kanak-kanak. Kita bangkitkan cita-cita untuk menjadi orang yang paling banyak memberi manfaat bagi agama ini dengan harta dan jiwanya.

Ini semua merupakan akar motivasi. Di sekolah, hal-hal yang bersifat motivasional tersebut secara keseluruhan termasuk bagian dari dasar-dasar berpengetahuan (the basic of knowing); bagian penting pendidikan yang harus kita bangun pada para peserta didik di jen­jang sekolah dasar, terutama kelas satu sampai tiga. Mudah-mudahan dengan itu anak kita memiliki motivasi intrinsik yang kuat. Bukan motivasi ekstrinsik, yakni tergeraknya seseorang melakukan sesuatu karena dorongan dari luar. Bukan karena merasa apa yang dilakukannya itu baik dan memang seharusnya dilakukan.

Jika motivasi intrinsik memiliki akar  yang kuat sehingga sulit diruntuhkan, maka motivasi ekstrinsik justru mudah patah tanpa perlu kita patahkan. Semakin intrinsik motivasi seseorang, semakin kuat daya tahannya melakukan sesuatu dengan penuh semangat.

Pada masa kanak-kanak, motivasi masih dalam proses perkembangan. Fase pemben­tukan yang paling penting berada pada rentang usia 0-8 tahun. Selanjutnya, usia 9-12 tahun merupakan fase penguatan. Secara umum, anak-anak mencapai kemapanan motivasi pada usia dua belas tahun. Artinya, pada usia ini motivasi anak cenderung stabil, meskipun masih ada kemungkinan berubah. Jika pada usia-usia sebelumnya orangtua dan guru secara terus-menerus membangun motivasi intrinsiknya, insya-Allah pada usia ini kuatnya motivasi su­dah menjadi karakter anak.

Nah, apakah yang ditawarkan di acara yang bernama Pildacil? Anak-anak dilatih menirukan ceramah –bukan mengekspresikan gagasan secara alamiah—untuk meraih mimpi-mimpi tentang uang yang berlimpah, umroh gratis dan bahkan sekaligus ambisi punya rumah mewah seperti komentar juri yang saya kutip di awal tulisan ini.

Lalu, akan kita bawa ke mana anak-anak kita jika di usianya yang masih sangat belia, sudah sibuk mendakwahkan agama untuk meraih dunia? Padahal, hari ini mereka seharusnya membangun motivasi yang kuat, budaya belajar yang kokoh, integritas yang tinggi, dan visi besar yang bernilai spiritual.

Wallahu a’lam bishawab.
Di luar itu semua, ada beberapa hal yang memprihatinkan bagi perkembangan mereka di masa mendatang, terutama jika mengingat bahwa tidak mungkin mereka bisa tampil di Pildacil kecuali karena ada potensi besar pada diri mereka. Pertama, jika melihat cara mereka berbicara dan sorot matanya saat tampil, tampak betul bahwa mereka bukan sedang mengekspresikan gagasan. Tetapi mereka sedang belajar mengambil jalan pintas. Mereka menjadi kaset yang diputar ulang. Materi ceramah dan gaya berbicara, tidak sedikit yang menunjukkan bahwa bukan diri mereka yang tampil. Barangkali tidak disadari, cara seperti ini merupakan pembunuhan karakter positif anak.

Kedua, di saat anak-anak harus belajar beramal dengan ikhlas dan gigih berusaha, mereka melihat kenyataan bahwa yang membuat mereka hebat bukan usaha keras mereka untuk berbicara dengan sebaik-baiknya, tetapi seberapa banyak SMS yang masuk untuk dia. Di banyak tempat, pembunuhan karakter berikutnya terjadi: dari orangtua, pejabat pemerintah hingga pemuka agama yang tidak visioner berlomba mengeluarkan dana sekaligus menyeru untuk berkirim SMS sebanyak-banyaknya. Sekali lagi, anak belajar praktek manipulasi. Pada­hal orang dewasa pun seharusnya tetap belajar untuk secara jujur mengakui keutamaan orang lain dan berusaha mengambil pelajaran dari orang lain yang lebih baik.

Dampak lebih jauh dari praktek manipulasi suara –sebagian orangtua bahkan sampai menjual harta berharga untuk mendongkrak perolehan SMS—masih sangat panjang.

Tetapi belum cukup kuat hati saya untuk membahasnya saat ini. Semoga Allah berikan kepada saya kekuatan untuk menulis yang lebih tuntas di waktu mendatang.

Ketiga, anak-anak yang seharusnya belajar membangun visi hidup dan orientasi spiritual, justru kehilangan elan vital (daya hidup) untuk terus mencari ilmu dengan sebaik-baiknya karena fokusnya justru bagaimana menarik perhatian publik. Bukan menyampaikan apa yang baik. Bukankah apa yang harus disampaikan sudah dilatihkan?

Tiga hal ini hanyalah sebagian alasan mengapa kita harus menahan diri agar tidak menjerumuskan anak-anak kita ikut Pildacil. Terlalu kecil harga yang mereka terima untuk sebuah kehilangan yang sangat besar.

Anak-anak itu sangat luar biasa potensinya. Alangkah besar manfaat yang bisa dipetik oleh agama dan ummat manusia jika kita memilih membangun kekuatan jiwa, aqidah, iman, akal budi dan kegigihannya saat ini sehingga kelak mereka bisa memberi kebaikan yang sebesar-besarnya. Betapa pun, harus kita akui dengan jujur, Pildacil sama sekali bukan untuk melakukan pembibitan generasi Islam.

Pildacil adalah bisnis dan hiburan, karena hanya inilah kamus yang dikenal oleh TV!

Kurangi Balita Nonton TV

 
American Academy of Pediatrics, merekomendasikan pembatasan nonton TV untuk anak pra sekolah, hanya satu jam saja

Televisi menjadi penyelamat banyak ibu dan para pengasuh saat mengasuh balita. Tidak percaya? Simak saja saat si kecil sibuk berlarian di waktu makan, cara termudah membuatnya duduk diam adalah dengan televisi. Anak terus membuntuti Anda sambil bertanya ini dan itu, 'pergilah menonton tv' bisa jadi kalimat ampuh untuk menjauhkan anak Anda tanpa rasa bersalah.
 
Seperti diberitakan di livescience, sebuah penelitian terbaru di Amerika menemukan bahwa anak-anak terlalu banyak menonton televisi, bahkan beberapa di antaranya lebih dari 5 jam per hari. Rasanya jika penelitian itu dilakukan di Indonesia, maka hasilnya mungkin akan lebih mencengangkan. Menonton televisi 3 jam, dilanjutkan main video game selama 2 jam, berkutat dengan komputer selama 1 jam, misalnya. Padahal berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan American Academy of Pediatrics, pembatasan paparan layar televisi untuk anak pra sekolah adalah satu jam saja.
 
Rekomendasi tersebut juga berdasar pada sebuah penelitian tentang hubungan waktu paparan dengan efek negatifnya, yaitu lambat bicara, obesitas, berpotensi memiliki perilaku agresif dan menunjukkan penurunan kemampuan akademik. Studi tersebut dipimpin oleh Dr. Pooja Tandon dari Seattle Children's Research Institute dan University of Washington, yang kemudian dipublikasikan melalui Journal of Pediatrics.
 
Studi melibatkan 9000 anak usia pra sekolah, yaitu 4 sampai 5 tahun, bersama dengan kedua orang tua dan pengasuhnya. Anak-anak tersebut dikelompokkan sesuai dengan cara pengasuhan, yaitu bersama pengasuh di rumah sendiri atau dititipkan ke saudara, di penitipan anak, di penampungan anak yang kurang mampu, dan yang diasuh oleh orang tuanya saja di rumah. Mungkin yang perlu kita cermati adalah cara pengasuhan bersama pengasuh dan yang dirawat sendiri oleh orang tua mereka, seperti yang banyak dilakukan di Indonesia.
 
Hasilnya, mereka yang diasuh di rumah menghabiskan waktu di depan layar selama lima setengah jam per hari dan mereka yang bersama orang tuanya menghabiskan waktu sekitar 4 jam per hari. Hal ini menunjukkan anak leluasa untuk menyalakan televisi kapan saja saat berada di rumahnya sendiri.
 
Penyebabnya bisa ditebak. Selain televisi berperan sebagai babysitter, para orang tua juga merasa lebih aman anak-anaknya di depan televisi seharian daripada keluar rumah untuk beraktivitas bersama teman-temannya. Alasan ini juga tidak bisa dianggap sebagai kesalahan, mengingat berbagai alasan sosial mendasari orang tua untuk bersikap demikian.
 
Oleh karena itu, Dr Tandon memberikan solusi bukan untuk meniadakan sama sekali televisi bagi anak pra sekolah, namun untuk mengurangi durasi mereka di depan televisi. Solusi pertama adalah dengan menggunakan DVD ketimbang siaran televisi khusus anak-anak, karena durasinya lebih bisa dibatasi. Kedua, matikan televisi saat makan, belajar dan saat istirahat siang. Ketiga, jangan sediakan televisi di kamar mereka. Keempat, biasakan untuk membatasi durasi nonton televisi dari mereka kecil. Kelima, isi kegiatan anak saat berada di rumah agar si kecil tidak merasa bosan dan kemudian menyalakan televise.

Senin, 09 Agustus 2010

The Dark And The Bright Side of Video Game


Masih terbayang jelas di ingatan saya, kebiasaan bermain games komputer beberapa puluh tahun yang lalu. Namanya Sim City. Dalam permainan itu kita ditantang untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya populasi di sebuah kota dengan cara membuat kota menjadi sangat menarik untuk dihuni. Begitu intensnya saya bermain, sehingga kuliah jadi terbengkalai, badan kurus karena tidak peduli dengan urusan makan, dan agak terisolasi secara sosial. Hal lain yang mendera adalah rasa nyeri di tangan dan siku yang baru hilang setelah tidak main lagi.

Lalu saya mikir-mikir…kalau saya yang waktu itu hitungannya sudah tergolong dewasa aja bisa sangat senang main komputer games seperti itu, apalagi anak-anak ya…banyak orang tua yang mengeluh bahwa anaknya kalau sudah bermain game, tetap bergeming meskipun dipanggil orangtua atau diminta belajar. Tapi ada juga orangtua yang sengaja membelikan peralatan video games portable supaya anak tidak mengganggu kegiatan orangtua yang lagi meeting atau sibuk urusan lainnya. Diberi permainan ini anak akan diam dan tidak akan pergi jauh-jauh sehingga mudah diawasi… (kasihan dech tuh anak).

Ada Apa Dengan Video-games (AADV) ?

Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa berbagai jenis permainan khususnya video games sangat disukai oleh kebanyakan anak-anak. Sementara di sisi lain orangtua kerap mengalami kesulitan mengendalikan anak kalau sudah bermain video game Sampai saat ini memang masih ada pro dan kontra terhadap manfaat atau efek dari jenis permainan video games terhadap anak.

Beberapa penemuan terakhir mengisyaratkan bahwa tidak semua video games berakibat negatif karena ada juga juga hal-hal positif dari video games yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan yang menyangkut intelegensi maupun psikologis anak.

Polling yang dilakukan di radio Delta FM beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa kebanyakan orangtua merasa video games lebih banyak memberi pengaruh negatif ketimbang manfaat positifnya. Bahkan ada yang curi-curi bermain Championship Manager pada waktu istrinya sedang tidur. Sang ayah mulai bermain sekitar jam 11 malam sampai jam 3 pagi.

Jadi bukan permainannya yang dikhawatirkan, tapi efek kecanduan dari permainannya itu yang membuat banyak orangtua akhirnya bersikap negatif terhadap video games.

Apa efek negatif dari Video Games ?

Ada yang mengatakan bahwa bermain video games secara perlahan-lahan bisa menumpulkan rasa empati pada anak karena dia akan terbiasa melihat bahkan bermain dengan unsur-unsur kekerasan. Akibatnya berbagai kekerasan seperti memukul, menembak atau membunuh akan dianggap hal yang wajar.

Efek negatif lain adalah mengurangi pergaulan sosial anak. Anak jarang bergaul dengan teman-temannya dan lebih suka menyendiri (asosial). Paling jauh mereka akan bermain dengan teman-temannya yang menyukai games yang sama.

Video game merupakan permainan yang sangat interaktif dan pengaruhnya lebih dahsyat dari televisi. Agresi yang ditawarkan pada anak-anak lebih kuat dibandingkan tontonan di TV. Dalam permainan ini anak tidak sekedar melakukan observasi pasif tapi turut berperan aktif dalam menentukan isi permainan. Padahal menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Beberapa permainan tertentu memang diyakini dapat memicu agresi.

Hal negatif lain adalah bahwa prestasi belajar bisa menurun karena berkurangnya waktu untuk belajar dan kelelahan karena terkuras konsentrasinya untuk bermain game. Selain itu frekuensi komunikasi dengan keluarga menjadi berkurang atau terganggu karena anak akan lebih suka berkomunikasi dengan permainannya daripada dengan orang tuanya.

Ih ngeri ah, lalu memang ada manfaat positif dari main video games ?
  • Video games dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dan bukan sekedar hiburan, seperti meningkatkan kecerdasan, kreativitas serta kemampuan untuk mengambil keputusan.
  • Sebagai media untuk mengembangkan wawasan anak (seperti permainan yang dilakukan secara interaktif, misal: kalau ada kebakaran apa yang harus ia lakukan)
  • Merupakan hiburan yang menyediakan fun dan bisa menurunkan stress anak. Di sisi lain diskusi tentang cara bermain video games tertentu bisa membuka peluang untuk mengembangkan keterampilan interpersonal
  • Membangun spirit persaingan, teamwork dan kerja sama ketika dimainkan dengan gamer-gamer lain.
  • Membuat anak-anak merasa nyaman dan familiar dengan teknologi – terutama anak perempuan, yang tidak menggunakan teknologi sesering anak cowok.
  • Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri anak saat mereka mampu menguasai permainan.
  • Mengembangkan kemampuan dalam membaca, matematika, dan memecahkan masalah.
  • Melatih koordinasi antara mata dan tangan, serta skill motorik à waktu reaksi
  • Mengakrabkan hubungan anak dan orangtua. Dengan main bersama, terjalin komunikasi satu sama lain.
  • Dapat membuka wawasan, menambah pengetahuan, meningkatkan kemampuan dan juga atensi terhadap objek-objek yang dilihat (atensi visual).

Oleh karena itu, lebih tepat apabila dikatakan bahwa waktu yang dihabiskan dan jenis permainan video game-lah yang dapat berdampak buruk pada anak.
Apa sih daya tarik Video games bagi anak remaja hingga menyebabkan kecanduan?
  • Karena berisi gambar-gambar bergerak yang penuh warna, situasi yang menantang dan kompetitif, tingkat kesulitan yang beragam, serta adanya interaksi online dengan para pemain lain, merupakan beberapa hal yang menjadikan video games menjadi sangat menarik dan menyenangkan, hingga semakin banyak orang menghabiskan banyak uang dan waktu berjam-jam untuk memainkannya.
  • Ada kemungkinan mengulang dari awal dan tetap aman
  • Rasa penasaran ingin melewati limit (perasaan tidak puas)

Apa saja ciri-ciri anak kecanduan video games?
  • Terus menerus memikirkan kegiatan bermain video game, bahkan ketika sedang belajar atau mengerjakan PR, sehingga anak jadi tidak dapat berkonsentrasi dengan apa yang sedang dilakukannya
  • Lamanya waktu bermain video game semakin bertambah. Anak tidak pernah merasa cukup dan puas bermain video game, sehingga jumlah waktu yang dihabiskan semakin meningkat dari hari ke hari
  • Ingin mengurangi atau berhenti bermain video game tapi tidak berhasil
  • Gelisah atau lekas marah ketika dilarang bermain video game.
  • Bermain game untuk melarikan diri dari masalah atau untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman (seperti rasa takut, khawatir, frustrasi, sedih, rasa bersalah, rasa tidak mampu, tidak berdaya).
  • Setelah kalah, anak tidak berhenti bermain, bahkan penasaran ingin terus bermain dengan harapan mungkin di kesempatan kali ini bisa menang.
  • Berbohong kepada orang tua atau orang lain mengenai penggunaan video game.
  • Tidak peduli melakukan tindakan yang melanggar aturan asalkan bisa bermain video game (tidak peduli terhadap hukuman apapun yang diberikan), misalnya membolos atau mencuri uang demi untuk bermain video game.
  • Lebih memilih bermain video game daripada berkumpul atau berkegiatan bersama keluarga, teman, atau berolahraga
  • Meminta uang kepada orang lain untuk membiayainya bermain video game

Bagaimana cara mengatasi kecanduan game pada anak?
  • Buat kesepakatan sejak awal, misal membatasi waktu anak bermain game sehari-harinya, yaitu maksimal 2 jam per hari
  • Disiplin dan pengawasan orang tua mutlak dilakukan. Cerewet tidak apa-apa.
  • Berikan waktu luang dan perhatian yang banyak kepada anak-anak Anda
  • Orang tua harus lebih selektif dalam mencarikan mainan untuk anak-anaknya. Sebisa mungkin permainan yang memunyai unsur edukatif, bukan permainan yang memertontonkan adegan kekerasan
  • Sebaiknya tidak menaruh peralatan video game atau komputer di kamar tidur anak.
  • Jika sudah terlanjur kecanduan, ya putuskan saja. Pasti ada gejala sakaw sebentar, tapi setelah itu akan normal. Jadilah konsisten dan tega dalam situsi ini.

Minggu, 08 Agustus 2010

Antara Orang Tua, Anak dan Buku

Sumber: Artikel ini diambil dari blog Bobby Hartanto; www.ngemongbareng.blogspot.com
Masih ingat buku apa yang paling berkesan untuk Anda ?

Saya masih ingat betapa saya sangat ingin berubah setelah membaca sebuah buku pelajaran (mata pelajaran PKK). Di situ ada seorang tokoh yang seusia dengan saya dan diceritakan sebagai anak yang rajin dan pintar. Bangun pagi, beresin tempat tidur, nyapu halaman, makan, sekolah, belajar, dan seterusnya. Pokoknya perfect banget dech!

Waktu itu saya sangat terinspirasi dan ingin meniru sang tokoh tersebut. Saya lalu mulai dengan berusaha bangun pagi dan selalu membereskan kamar serta menjaga kerapihan barang-barang. Orangtua sampai heran dengan perubahan itu.

Juga masih terbayang jelas di ingatan saya buku komik wayang yang dibelikan oleh orangtua saya. Pengarangnya RA Kosasih. Ceritanya mulai dari silsilah Pandawa sampai Perang Baratayudha, dan diakhiri dengan Pandawa Seda. Bahkan ada lanjutannya yaitu Parikesit. Dengan membaca cerita-cerita di buku itu, saya dan Bapak bisa berdiskusi. Mulai menanyakan senjata-senjata sakti para tokoh, membahas kelakuan para tokoh, sifat, sampai pada aplikasi sederhana dalam kehidupan (tentu saja untuk usia saya). Kalau sudah berbicara wayang, wah bisa panjang dan lama. I really loves wayang !

Sekarang saya menyadari bahwa sebuah buku bisa menjadi jembatan atau sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Dalam posisi saya sebagai orangtua dari 3 anak saat ini, saya sadar betul tanggung jawab yang saya pikul tidaklah ringan. Apa yang saya lakukan terhadap anak saat ini akan menentukan bagaimana anak saya nanti memperlakukan cucu saya. Dan salah satu hal yang sangat saya pentingkan adalah penanaman nilai pada anak. Saya yakin bahwa kalau anak punya nilai yang sudah terinternalisasi dalam dirinya maka dia akan lebih survive nantinya.

Proses internalisasi biasanya dilakukan melalui diskusi, bincang-bincang atau aktivitas komunikasi interpersonal lainnya. Hal ini mau tidak mau membutuhkan sebuah sarana komunikasi. Dan saya kira buku bisa menjadi salah satu sarana atau jembatan untuk anak berkomunikasi dengan orangtuanya. Selain itu masih banyak lagi manfaat yang bisa dipetik dari sebuah buku, khususnya dalam proses tumbuh kembang anak.

Bagaimana buku bisa membantu proses pendampingan anak ?

Melalui buku orangtua dapat mengenalkan aspek-aspek pendidikan atau nilai-nilai tertentu pada anak, seperti: nilai-nilai baik dan jahat, nilai persahabatan, pantang menyerah, dsb. Misalnya dalam cerita Cinderela, kita diajarkan untuk tidak mudah putus asa, tetap punya harapan, dsb. Dalam kisah 5 Sekawan, tergambar dengan jelas soal persahabatan, bagaimana berpikir kreatif dan logis. Buku Laskar Pelangi juga mengedepankan nilai perjuangan, sementara kisah Harry Potter memaparkan nilai kebaikan selalu menang atas kejahatan, dst.

Buku juga bisa menjadi sarana pembentukan karakter anak. Melalui cerita yang dituturkan anak bisa punya model yang akan diteladani. Misal : ingin menjadi seperti Lintang yang gigih dalam berjuang, ingin seperti Senopati Pamungkas yang gagah berani, atau menjadi seperti Yudistira yang bijaksana. Wah macam-macam dech.

Buku bisa menjadi sarana membangun kedekatan emosional atau keakraban antara orangtua dan anak. Saya pernah lihat seorang ayah dengan anaknya cekikikan bareng baca komik Tintin, Asterix atau Smurf. Atau seorang ibu yang bercerita sangat seru dengan anaknya tentang kantong ajaibnya Doraemon. Bahkan ada ibu yang mengaku bahwa anaknya sudah berumur cukup besar, tetapi tetap minta dibacakan buku oleh orangtuanya (didongengkan).

Buku yang dibacakan orangtua (didongengkan) bisa menjadi sarana yang sangat baik untuk melatih daya imajinasi anak. Mulai dari membayangkan wajah tokoh Hagrid, membayangkan indahnya pemandangan puncak gunung di cerita Heidi, bagaimana bentuk rumah dari coklat dan biskuit Hanzel and Gretel…wah seruu banget dech.

Jika kita ingin menjadikan buku sebagai sarana komunikasi dengan anak, apa sih tantangannya ?

Nah ini dia. Ada anak-anak yang tidak tertarik dengan buku dan lebih suka liat televisi atau film. Alasan mereka sederhana. Tinggal duduk, lihat dan dengar sudah terhibur. Buku kadang-kadang harus mikir, konsentrasi, capek dech intinya. Jadi salah satu tantangannya adalah kita harus bersaing dengan media lain, seperti televisi, permainan PS, film DVD, dsb.
Untuk bisa memanfaatkan buku, orangtua mau tidak mau juga harus membaca bukunya. Berarti ini orangtua harus menyediakan waktu untuk membaca (setidak-tidaknya membaca referensinya), atau bisa juga mengandalkan memorinya (kalau dulu sudah pernah baca). Ini adalah tantangan lain yang dihadapi orangtua.

Untuk beberapa orangtua, harga buku tidak murah. Buku yang baik dan laku di pasaran biasanya harganya cukup mahal. Salah satu solusinya adalah mencari di pasar buku bekas atau menunggu waktu diskon tiba. Selain itu buku juga membutuhkan tempat penyimpanan (rak buku) yang juga perlu dipikirkan ketersediaan ruangan dan biayanya.

Kapan usia terbaik memperkenalkan buku ?

Sedini mungkin, usia setahun sudah dapat diperkenalkan buku, bahkan sejak masa kehamilan, ibu dapat mengajak berkomunikasi dengan bercerita kepada bayi yang ada dalam kandungan. Karena kordinasi motorik belum baik, berikan buku dari plastik (yang bisa dibawa mandi), atau buku yang kertasnya tebal sekali. Buku ini akan sulit dirusak oleh anak-anak seusia mereka. Usahakan pilih yang berwarna-warni.

Selain itu yang perlu juga diperhatikan oleh orangtua adalah jenis cerita apa yang akan diperdengarkan kepada anak terkait dengan usianya. Cerita yang kompleks dan panjang, serta mengandung banyak muatan emosi sebaiknya jangan diberikan pada anak-anak yang masih SD.

Pada usia dini (umur setahun hingga tiga tahun) anak-anak sudah dapat menangkap isi sebuah cerita. Pilihlah cerita yang tidak terlalu panjang, tidak terlalu kompleks, tapi menarik. Sebaiknya banyak gambarnya daripada teks. Misal : si Kancil, Petualangan Dora, dsb. Tentu saja yang harus membacakan isi cerita adalah orangtuanya.

Pada usia antara 3 hingga 6 tahun, anak sudah dapat distimulasi untuk melatih daya khayalnya melalui cerita. Usia ini sangat penuh dengan brbagai imajinasi (mereka kita mereka bisa terbang), dan penuh dengan berbagai kemungkinan tidak terbatas (mereka pikir merek bisa bicara dengan binatang atau bernapas di bawah laut seperti Putri Duyung). Mereka juga sudah mampu mencerna cerita yang agak panjang dengan sedikit muatan emosi. Cerita-cerita karangan Hans Christian Andersen boleh untuk diperkenalkan.

Apabila anak menginjak usia 7 tahun ke atas, orang tua sebaiknya menggalakkan anak untuk membaca sendiri cerita-cerita dalam buku, komik atau majalah kesukaannya. Mereka juga suka mendengarkan cerita masa lalu orangtua atau eyangnya. Remaja boleh baca novel dan buku-buku yang agak kompleks ceritanya, atau buku buku pengembangan pribadi, kesehatan, dsb.

Bagaimana cara menggunakan buku untuk berkomunikasi ?

Pertama-tama harus ditumbuhkan budaya menyukai buku di rumah. Ini penting untuk memulai sebuah kebiasaan bersama yaitu membaca. Kalau budaya ini sudah ada, maka baru buku bisa jadi sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Caranya bisa dengan sediakan buku sebanyak mungkin, saring yang tepat untuk anak, pajang di tempat yang mudah diakses. Tunjukkan bahwa kita juga suka membaca apa saja, kapan saja. Jadikan buku sebagai hadiah ulang tahun. Kabulkan permintaan anak untuk beli buku daripada beli jajanan atau mainan.

Setelah itu coba amati buku apa yang sering dibaca oleh anak kita. Pelajari sedikit. Baca buku itu secara mandiri atau waktu anak sedang membaca tanya-tanya pada dia. Dengan demikian kita mencoba membuka jalur komunikasi dengan dia melalui hal yang dia sukai. Hati-hati jangan sampai merusak mood membacanya.

Komunikasi melalui buku juga bisa dilakukan dengan membacakan buku pada anak (yang belum remaja) menjelang tidur. Juga dengan mendiskusikan isi buku pada anak, atau menebak akhir cerita bersama anak. Diskusi bisa tentang kelakuan tokoh, kepandaian si tokoh (misal : dalam kisah misteri da vinci code), sifatnya (baik tapi judes, lemah lembut tapi culas) dsb.

Jadi bagaimana, bersediakah Anda memanfaatkan buku untuk berkomunikasi dengan anak?

Senin, 24 Mei 2010

Bersahabat Dengan Saat Anak Mogok Makan


Berbagi pengalaman bersama Prima Avianti

Ibu, pernahkah putra putri kecil Anda melakukan aksi gerakan tutup mulut saat waktu makan telah tiba? pernahkah putra putri kecil Anda 'say no to eat' atas semua jenis makanan yang ada atau yang sedang Anda tawarkan? pernahkah putra putri kecil Anda melemparkan sejuta alasan untuk menolak mentah-mentah makanan yang sudah Anda siapkan sesempurna mungkin? atau pernahkah putra putri kecil Anda sembunyi di lemari pakaian saat Anda memanggilnya untuk persiapan makan?

Ibu, bagaimana perasaan Anda? marah, sedih, panik, lelah? atau bahkan tersenyum? bersikap tenang, bersabar, bersyukur, atau biasa saja?


Sebagai manusia biasa, wajar apabila saya dan Anda, "kita semua", ada perasaan lelah, marah, dongkol, panik, sekaligus sedih. Tapi sebagai orang tua yg cerdas, kita  harus mampu berpikir cerdas pula!


Ibu, jika putra putri kecil kita sedang demo mogok makan maka duduklah sebentar, tarik nafas panjang, rilekslah sejenak, lalu berpikirlah
! dengan hati yang tenang  kita  akan mampu berpikir lebih jernih dan rasional :)

Ibu, tanyalah pada diri kita sendiri, sudah benarkah langkah kita dalam pemberian MPASI untuk putra putri kecil kita sejak awal mereka memulai hingga detik ini? sudah efektifkah cara kita? sudah bebaskah menu putra putri kecil kita dari makanan dan minuman yang bersifat instan? sudah homemade maker kah kita? sudah variatifkah menu kita? sudah maksimalkah usaha yang kita lakukan? sudah pahamkah kita dengan perasaan dan keadaan?


Ibu, pernahkah kita berpikir jika kita sedang sakit, sedang sariawan, atau sekedar lagi malas untuk makan gara-gara bete sama suami (misalnya), bahkan lagi iseng tidak mau makan, maka kita pun akan 'berpuasa' makan? pernahkah kita berpikir kalo kita yang sudah dewasa saja bisa melakukan aksi tutup mulut seperti yang putra putri kecil kita lakukan?


Tapi apakah selamanya kita akan tidak makan? pernahkah kita berpikir bahwa saat-saat mogok makan itu hanya sementara saja? pernahkah kita berpikir sementara itu tidak hanya dalam hitungan jam atau hari saja melainkan sangat mungkin dalam hitungan mingguan atau bulanan? pernahkah kita berpikir bahwa putra putri kecil kita pun memiliki perasaan seperti yang pernah kita alami dan rasakan?


Maka bersahabatlah dengan momen penting itu, momen saat putra putri kecil kita mogok makan, menolak mentah-mentah masakan hasil karya sempurna kita, bahkan 'kabur' dari pandangan kita saat waktu makan telah tiba


Ibu, demi kebaikan kesehatan putra putri kecil kita maka apa tidak sebaiknya kita hindari berpikir 'praktis' hanya karena pertimbangan berat badan, lalu ingin segalanya serba cepat dan "gak mau ribet", tapi ternyata jatuhnya justru kita memberikan 'makanan cair' yang sebenernya berfungsi persis cairan infus itu
 

Caranya mudah saja Ibu, tetap buatkan mereka makanan dengan banyak pilihan, jangan lupa buah dan sayur serta susu segar tetap kita tawarkan, persoalan nanti dia makan hanya separuh, sedikit saja, beberapa sendok, sesuap, seserut, seteguk jika itu minuman, atau mungkin bahkan lagi2 anti mangap, itu sama sekali tidak masalah! lakukanlah secara bertahap, sedikit2 namun sering.

Sedikit berbagi pengalaman pribadi, "Hizba" putra sulung saya, melakukan aksi tutup mulut sejak dia mengenal MPASI pertamanya di usia 6 bulan, dan saya yakin sayalah penyebabnya karena sejak pertama mengenal makanan padat hizba langsung saya beri makanan instan,
dimana pada makanan instan rasa lebih diutamakan, mungkin untuk tujuan "disukai anak-anak" atau mungkin tak jauh dari "lebih banyak mendapat pelanggan", secara tidak langsung kitalah yang menjadi marketing mereka dimana target konsumennya adalah anak-anak kita sendiri. Padahal, tidak diragukan lagi didalamnya banyak mengandung zat-zat yang "kurang" alami dan "kurang" tepat bila dikonsumsi anak-anak.

Ketika saya coba sharing dengan orangtua saya (tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat dan terima kasih saya), beliau mengatakan: waktu saya masih kecil, saya pun sulit makan. Dan memang demikian pola pikir secara umum, sering kali dianalogikan dengan apa yang terjadi pada ayah atau ibunya, atau dalam istilah jawa "nurun".

Hingga hizba kena sariawan, makin menjadi mogok makannya, saya coba berfikir "flanking" keluar dari pola pikir umum, mencari alternatif jawaban dengan mencoba berempati "kalau misalnya saya sariawan", apa saya bisa merasakan nikmatnya makanan sesempurna saat tidak sariawan?.

Akhirnya saya coba memberi Hizba makanan dengan banyak pilihan, semua berjalan secara alamiah, hingga alhamdulillah sekarang hizba hampir berusia 3 tahun jarang sekali ia mogok makan, bahkan hanya menu nasi tempe goreng pun dia lahap, dan seringkali makan minta  sendiri tanpa harus menunggu "perintah", bahkan makan sendiri tanpa mau disuapi.

Ibu, percayalah pada putra putri kecil kita, tetap berikan yang terbaik dengan cara yang sehat, maka mereka pun akan menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri.

semoga bermanfaat,

ummu hizballah - jundallah
"karena setiap individu itu.. unik!"

Selasa, 18 Mei 2010

Mengapa Anak Sekarang Lebih Sering Membantah Orang Tua??

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) di 15 propinsi 32 kota di Indonesia

Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.
 
Judul di atas sungguh menggelitik saya. Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ayah pada saya di forum “yuk-jadi orangtua shalih”. Benarkah anak sekarang lebih sering membantah orangtua daripada anak jaman dulu?

Sebenarnya, sikap membantah anak pada orangtua adalah hal yang tak dapat dihindari, baik jaman dulu maupun sekarang. Apakah anak sekarang lebih sering membantah daripada anak jaman dulu? Ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mungkin perlu wawancara yang melibatkan banyak orangtua melalui sebuah penelitian yang terukur. Tetapi, bahwa anak jaman dulu dan sekarang juga pernah membantah orangtua, adalah hal yang tak dapat dihindarkan.


Mengapa saya katakan tak dapat dihindarkan?
Pertama, karena orangtua dan anak memiliki ‘pikiran’ masing-masing. Pikiran ‘tua’ dan ‘muda’ dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan keinginan, harapan hingga cara mewujudkan harapan dan keinginan tersebut. Kedua, meski kadang ada irisan, kemiripan karakter, tak dapat dipungkiri setiap manusia memiliki karakter uniknya masing-masing. Anak kembar pun yang memiliki kemiripan wajah, dapat memiliki perbedaan besar dalam karakternya. Apalagi orangtua dan anak. Dalam batas tertentu, sebenarnya adalah sebuah kewajaran jika terdapat perbedaan karakter orangtua dan anak. Sekali lagi, sepanjang karakter ini tidak negatif, wajar saja anak dan orangtua memiliki perbedaan karakter.

Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian dapat menjadi ‘peluang’ adanya pertentangan anak-orangtua. Saat anak merasa tak nyaman dengan ‘keinginan, harapan dan cara orangtua mewujudkan keinginan dan harapan tersebut—meski sebenarnya tujuan baik untuk anak’, inilah yang kadang membuat sebagian orangtua kemudian menganggapnya sebagai sikap pembangkangan anak pada orangtua.


Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.


Tetapi jika orangtua selalu berusaha ‘menyamakan’ anaknya dengan diriya dan selalu berusaha membuat anak agar seperti dirinya di masa lalu, perbedaan-perbedaan ini akan makin besar dan dapat mengarah pada anggapan bahwa anaknya ‘membangkang dan membantah’ dirinya. Sikap orangtua yang tak tepat inilah yang kemudian juga menyebabkan orangtua tak nyaman memiliki ‘anak seperti ini’, anak pun sebelas dua belas merasa tak nyaman memiliki ‘orangtua seperti itu’.


Kunci besarnya adalah ada pada kerendahan hati orangtua untuk memahami anaknya. Tak sedikit orangtua bertemu setiap hari dengan anaknya tapi tak mengenal anaknya. Sebagian besar orangtua mungkin mengerti kenakalan anaknya, tapi belum tentu sangat faham dengan kelebihan anaknya. Pemahaman yang tepat tentang anak inilah yang akan menentukan ‘persepsi’ yang tepat pula pada anak dan akhirnya tindakan dan perlakuan pada anak insya Allah juga akan tepat.


Jika orangtua mau rendah hati untuk terus belajar memahami anaknya, bisa jadi ada banyak perbuatan anak yang harusnya dibiarkan, tetapi malah ‘ditahan’. Padahal sebenarnya anak tengah bergairah dengan perbuatan tersebut. Akibatnya, anak jadi ‘terjebak’ untuk ‘membantah’ atau ‘membangkang’ orangtua.


Ilustrasi sederhana saya lakukan saat para peserta PSPA melakukan sebuah permainan sederhana dengan tali. Mereka diberikan tantangan permainan dengan tali tersebut. Saat waktunya habis dan lalu saya katakan ‘sudah berhenti ayah bunda’. Anda tau? Ternyata tak mudah bagi sebagian orangtua ini untuk langsung ‘patuh’ berhenti pada apa yang saya katakan. Mereka masih ‘khusyuk’ dan masih ‘istiqomah’ dengan permainannya.


Saya lalu bertanya pada para peserta dan sengaja dengan guyon menirukan kalimat yang sering dilontarkan sebagian orangtua pada anak: “Mengapa sih kalian ini susah dibilangin? Harus berapa kali ABAH bilang, dibilang berhenti ya berhenti! Telinganya disimpan dimana? Kenapa sih membangkang?!”


“Habis lagi asyik abah!” jawab sebagain peserta. “Yeee ABAH jangan marah-marah gitu dong!”, celetuk yang lain tertawa. “Kalau penasaran ya susah berhenti!”


Tahukah ayah bunda? Anak Anda pun demikian. Pada kasus tertentu, sebenarnya mereka tak bermaksud membantah atau membangkang orangtua. Tapi karena orangtua tak memahami konteks dan situasi yang melingkupi anak dan lalu memaksakan ‘perintah’ tertentu pada, padahal anak tengah asyik masyuk, menyebabkan anak mengalami ‘pertentangan dalam pikirannya sendiri’: mau teruskan permainan atau nurut ayah bunda dulu?


Saat anak-anak kita yang berusia 9 tahun misalnya tengah bermain drama dan sangat asyik dengan teman-temannya. Lalu tiba-tiba orangtua memanggilnya ‘Reniiii beliiin ibu gula merah ke warung sebentar….’. Apa yang akan anak rasakan?!


Jangan dikira anak nyaman dengan situasi ini. Mau diteruskan, ketinggalan acara! Tidak diteruskan, bunda akan anggap aku tak patuh! Repot kan jadi anak jika punya orangtua tak memahami ini?


Makin besar anak makin banyak pula perbedaan harapan, keinginan dan cara mewujudkan harapan serta keinginan tersebut. Saat perbedaan ini tak ‘dikompromikan’, akibatnya anak menganggap orangtua ‘tak mengerti perasaan anak (egois)’ dan orangtua pun menganggap anaknya semakin membangkang.


Lepas dari bahasan tadi, sebagian anak memang ada yang membangkang dan sering membantah betulan (dalam artian negatif). Bukan sekadar karena perbedaan keinginan, harapan dan cara mewujudkan harapan keinginan tersebut, tetapi karena memang sikap buruk yang muncul pada diri anak.


Ada banyak penyebab sikap buruk anak yang membantah atau membangkang ini muncul. Sebagain besar penyebabnya justru bukan karena anaknya yang memang dilahirkan membangkang, tetapi karena sikap dan perilaku orangtua sendiri yang membentuknya secara tidak sengaja. Ingat, tak satu pun anak berniat di kepalanya ketika lahir untuk membangkang orangtuanya.


Ketidakkonsistenan orangtua adalah sebab utama pertama. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan orantua itu sendiri menyebabkan kredibilitas orangtua di mata anak ‘jatuh’. Bagaimana mungkin anak akan mempercayai perkataan orantua sementara jika sikap/perilaku orangtua tak sesuai dengan perkataannya! Saat Anda mengatakan ‘mulai besok nonton tv-nya satu jam aja ya’. Lalu pada saat ‘besok’ ternyata anak menangis dan lalu orangtua membiarkan anak nonton lebih dari satu jam, karena anak menangis atau ngambek, maka sejak saat itulah ‘pembangkangan’ anak akan makin sering muncul.


Maka yang diperlukan orangtua adalah ketegasan, ketegasan dan ketegasan. Ketegasan tidaklah identik dengan kekerasan. Jika Anda tegas dari awal, maka sebenarnya Anda pun akan terhindar dari banyak menghukum anak. Ketegasan tidaklah diukur dari seberapa besar volume teriakan Anda pada anak. Anda bisa tegas pada anak bahkan dengan sambil senyum.


Anda boleh sayang pada anak dan bertindak lembut pada anak. Tetapi, sayang dan lembut pada anak tidak berarti Anda lembek pada anak dan selalu mengalah karena anak menangis, protes dan marah. Anak protes, menangis dan marah adalah hal biasa saat ia mengalami kecewa. Jika Anda menyerah karena anak nangis, protes dan marah, maka siap-siaplah Anda akan dikendalikan oleh anak. Ini berbahaya buat masa depan anak sendiri. Tidak semua keinginan anak harus Anda dipenuhi. Anda boleh menolaknya dan bahkan justru pada sebagian tertentu wajib menolaknya. Jika tidak, akan bertindak dan terus mengendalikan Anda secara berlebihan.


Sebab paling sering kedua adalah tidak adanya keakraban antara orangtua dengan anak. Secara alamiah, dalam situasi normal, kita akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang kita kenal dibandingkan orang tidak kita kenal bukan? Lalu kita pun akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang akrab dengan kita, dibandingkan dengan perkataan orang yang hanya ‘dikenal’ kita. Ketidakakraban orangtua-anak dapat menyebabkan orangtua kurang ‘mendengar’ anak dan akhirnya anak pun kurang ‘menerima’ pesan orangtua.


Mengapa sebagian orangtua kurang akrab dengan anaknya? Sebagian besar orangtua hari ini 'sibuk' dengan urusan 'orangtua' sendiri. Semakin kompetisi kehidupan ketat, semakin menyebabkan orangtua harus bekerja ekstra keras untuk ‘hidup’. Ini menyebabkan sebagian orangtua harus banting tulang pergi pagi pulang malam.


Jaman dulu, orangtua cuma siang doang ke ladang.. pagi dan sore sudah ada di rumah untuk 'ngobrol' sama anak. Apalagi jaman dulu, benda-benda hiburan buatan manusia masih jarang, seperti televisi.


Hari ini, banyak anak 'terlantar' meski orangtuanya lengkap. Terlantar secara emosional. Sebagian anak jadi 'yatim piatu' pada saat orangtuanya lengkap. Jarang bicara dengan anak, hanya bicara kepada anak. Jarang mendengar curhat anak, seringnya menasihati anak. Orangtua watunya sangat tersita dan sibuk dengan pekerjaan. Judulnya demi meraih masa depan: mencapai quadran keempat, mencapai cita-cita financial freedom sehingga bisa pensiun dini dan akhirnya memiliki banyak waktu untuk anak—agar akrab dengan anak. Sayangnya dengan mengabaikan anak hari ini justru cita-cita untuk akrab dengan anak saat penisun dini tidak tercapai karena anaknya keburu ‘jauh’ secara emosional dengan orangtua.


Apalagi, orangtua hari ini memiliki saingan baru: televisi. Saat semua anggota keluarga sudah di rumah, eh yang diselami isi tayangan televisi, bukan perasaan-perasan antar anggota keluarga. Meski katanya ‘lelah dan capek’ habis bekerja seharian, ternyata tak sedikit orangtua masih memiliki waktu untuk ‘menengok’ televisi dan menyelami perasaan bintang-bintang televisi saat acting dibandingkan ‘menengok’ anak dan menyelami perasaan-perasaan anak.


Belum lagi, keterbukaan informasi menyebabkan anak-anak sekarang memiliki akses data dan informasi lebih banyak daripada anak jaman dulu. Dengan sendirinya, pengalaman orangtua akan menjadi ‘kredibilitas’ tak terbantahkan untuk anak-anak jaman dulu. Dengan sendirinya kultur patron-klien terbentuk secara alamiah. Maka, tak heran anak-anak jaman dulu lihat muka orangtua saja sudah segan. Anak jaman sekarang? Wehhh belum tentu demikian.


Perkataan orangtua di jaman dulu hampir tak bisa dibantah karena orangtua memang cenderung memiliki bahan data lebih banyak daripada anak-anaknya saat berargumen karena pengalaman hidupnya mereka lebih banyak. Sedangkan anak-anak sekarang juga memiliki akses data dan informasi yang sama dengan orangtuanya, sehingga katakanlah anak sekarang memiliki lebih banyak lagi ragam pilihan informasi. Ini mungkin yang menyebabkan anak sekarang lebih mudah dapat ‘berbeda’ dengan orangtuanya dan akhirnya jika cara mengekspresikan perbedaaan ini tidak tepat dianggap sebagai ‘bantahan’ anak pada orangtua.


Jika demikian, anak jaman sekarang lebih sering membantah dan membangkang daripada anak jaman dulu, bisa jadi betul adanya. Kesediaan orangtua untuk meluangkan setidaknya 2,5% waktu 24 jam mereka untuk anak sehingga memiliki peluang untuk menjadi lebih akrab dengan anak, lalu konsisten (tegas) dalam perkataan, sikap dan perbatan, insya Allah akan menjadi modal penting bagi anak-anak kita untuk lebih mendengar perkataan-perkataan baik dari kita. **


(
Diperkenankan untuk menyalin dan menyebarkan tulisan ini dengan tetap menyebutkan sumbernya secara utuh)

Senin, 03 Mei 2010

Silence Speak... Sebuah Surat Cinta

Kali ini aku benar-benar terdiam
Tak seorangpun akan mengerti pemberat suaraku...
Bahkan kaupun tak akan selalu mengerti...
Ini semua akan kita pahami satu demi satu seiring berjalannya waktu

Dalam hatiku selalu saja ada masa lalu, sekarang dan masa depan
Seperti halnya dalam hatiku yang selalu saja ada ibu bapak dan saudara-saudaraku, istriku serta anak-anakku
Seperti halnya dalam hatiku yang selalu saja ada sahabat-sahabat masa kecilku, sahabat-sahabatku sekarang, serta sahabat-sahabat seperjuanganku di masa mendatang
Seperti halnya dalam rumahku yang selalu saja ada tumpukan buku yang aku susun rapi dan berurutan dari masa ke masa

Sekarang...
Aku terduduk di gubug tua ini bukan tak berarti
Coba kau lihat rumput di sekeliling kita yang selalu ingin tegak biarpun tiupan angin memaksanya merebah
Coba kau lihat air sungai didepan kita yang selalu berusaha mengendapkan lumpur yang membuatnya tampak tak jernih biarpun selalu saja terlarut lagi
Coba kau lihat di sebelah sana, burung semak yang terluka namun masih saja berusaha terbang tinggi untuk bertahan hidup biarpun itu membuat lukanya semakin parah
Aku belajar... iya, aku belajar...

Kali ini aku benar-benar mengerti makna lantunan suara ini...
Suara rumput liar yang terhimpit berat badanku...
Suara air sungai yang terdorong ke tepian…
Suara atap gubug renta yang berusaha menahan diri untuk tidak terjatuh oleh tiupan angin

Kali ini aku mulai mengerti mengapa sungai ini tidak mudah aku lewati …
Biarpun sudah sekuat ini aku mengayuhkan dayung ditanganku...
Biarpun sudah sedetail ini aku membaca arah...
Biarpun sudah sebanyak ini pula aku membekali diri…

Kali ini aku sedikit mengerti makna tatapan itu…
Tatapan seorang tua renta yang kosong menembus angkuhnya sebuah bangunan kokoh nan megah didepannya…
Tatapan seorang anak memandang orang tua yang mengantarnya berangsur menjauh, ketika memasuki hari pertama sekolahnya
Tatapan seorang pengantin sewaktu mencium tangan orang tua yang akan ditinggalkan sendiri dirumah yang telah tua pula...

Kali ini aku tak bisa memahami banyak hal pula...
Bagaimana itu semua yang seolah sia-sia ternyata banyak berharga
Bagaimana itu semua yang seolah tangis ternyata senyum
Dan bagaimana aku bisa tidak menghargai masa lalu yang begitu indah…

Sayangku..., inilah hidupku...
Yang tidak selalu berada dalam hingar bingar keceriaan
Yang tidak selalu berada dalam sebuah kepositifan
Ataupun pula selalu dalam kemenangan...
 
Sayangku..., inilah hidupku...
Yang tidak selalu pintar untuk mengungkap hikmah yang ada
Yang tidak selalu dalam untuk mengungkap isi hatimu
Atau bahkan untuk mengungkap isi hatiku

Semua ini bukan tentang sebuah igauan di tengah lelap tidurku
Tetapi tentang bagaimana semua ini terus berjalan
Dan bagaimana semua ini harus dijalani dan dipelajari
Semua ini adalah tentang bagaimana kita perlu mengalami

Surat Cintaku Untukmu
---Arief---