Selasa, 18 Mei 2010

Mengapa Anak Sekarang Lebih Sering Membantah Orang Tua??

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) di 15 propinsi 32 kota di Indonesia

Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.
 
Judul di atas sungguh menggelitik saya. Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ayah pada saya di forum “yuk-jadi orangtua shalih”. Benarkah anak sekarang lebih sering membantah orangtua daripada anak jaman dulu?

Sebenarnya, sikap membantah anak pada orangtua adalah hal yang tak dapat dihindari, baik jaman dulu maupun sekarang. Apakah anak sekarang lebih sering membantah daripada anak jaman dulu? Ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mungkin perlu wawancara yang melibatkan banyak orangtua melalui sebuah penelitian yang terukur. Tetapi, bahwa anak jaman dulu dan sekarang juga pernah membantah orangtua, adalah hal yang tak dapat dihindarkan.


Mengapa saya katakan tak dapat dihindarkan?
Pertama, karena orangtua dan anak memiliki ‘pikiran’ masing-masing. Pikiran ‘tua’ dan ‘muda’ dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan keinginan, harapan hingga cara mewujudkan harapan dan keinginan tersebut. Kedua, meski kadang ada irisan, kemiripan karakter, tak dapat dipungkiri setiap manusia memiliki karakter uniknya masing-masing. Anak kembar pun yang memiliki kemiripan wajah, dapat memiliki perbedaan besar dalam karakternya. Apalagi orangtua dan anak. Dalam batas tertentu, sebenarnya adalah sebuah kewajaran jika terdapat perbedaan karakter orangtua dan anak. Sekali lagi, sepanjang karakter ini tidak negatif, wajar saja anak dan orangtua memiliki perbedaan karakter.

Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian dapat menjadi ‘peluang’ adanya pertentangan anak-orangtua. Saat anak merasa tak nyaman dengan ‘keinginan, harapan dan cara orangtua mewujudkan keinginan dan harapan tersebut—meski sebenarnya tujuan baik untuk anak’, inilah yang kadang membuat sebagian orangtua kemudian menganggapnya sebagai sikap pembangkangan anak pada orangtua.


Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.


Tetapi jika orangtua selalu berusaha ‘menyamakan’ anaknya dengan diriya dan selalu berusaha membuat anak agar seperti dirinya di masa lalu, perbedaan-perbedaan ini akan makin besar dan dapat mengarah pada anggapan bahwa anaknya ‘membangkang dan membantah’ dirinya. Sikap orangtua yang tak tepat inilah yang kemudian juga menyebabkan orangtua tak nyaman memiliki ‘anak seperti ini’, anak pun sebelas dua belas merasa tak nyaman memiliki ‘orangtua seperti itu’.


Kunci besarnya adalah ada pada kerendahan hati orangtua untuk memahami anaknya. Tak sedikit orangtua bertemu setiap hari dengan anaknya tapi tak mengenal anaknya. Sebagian besar orangtua mungkin mengerti kenakalan anaknya, tapi belum tentu sangat faham dengan kelebihan anaknya. Pemahaman yang tepat tentang anak inilah yang akan menentukan ‘persepsi’ yang tepat pula pada anak dan akhirnya tindakan dan perlakuan pada anak insya Allah juga akan tepat.


Jika orangtua mau rendah hati untuk terus belajar memahami anaknya, bisa jadi ada banyak perbuatan anak yang harusnya dibiarkan, tetapi malah ‘ditahan’. Padahal sebenarnya anak tengah bergairah dengan perbuatan tersebut. Akibatnya, anak jadi ‘terjebak’ untuk ‘membantah’ atau ‘membangkang’ orangtua.


Ilustrasi sederhana saya lakukan saat para peserta PSPA melakukan sebuah permainan sederhana dengan tali. Mereka diberikan tantangan permainan dengan tali tersebut. Saat waktunya habis dan lalu saya katakan ‘sudah berhenti ayah bunda’. Anda tau? Ternyata tak mudah bagi sebagian orangtua ini untuk langsung ‘patuh’ berhenti pada apa yang saya katakan. Mereka masih ‘khusyuk’ dan masih ‘istiqomah’ dengan permainannya.


Saya lalu bertanya pada para peserta dan sengaja dengan guyon menirukan kalimat yang sering dilontarkan sebagian orangtua pada anak: “Mengapa sih kalian ini susah dibilangin? Harus berapa kali ABAH bilang, dibilang berhenti ya berhenti! Telinganya disimpan dimana? Kenapa sih membangkang?!”


“Habis lagi asyik abah!” jawab sebagain peserta. “Yeee ABAH jangan marah-marah gitu dong!”, celetuk yang lain tertawa. “Kalau penasaran ya susah berhenti!”


Tahukah ayah bunda? Anak Anda pun demikian. Pada kasus tertentu, sebenarnya mereka tak bermaksud membantah atau membangkang orangtua. Tapi karena orangtua tak memahami konteks dan situasi yang melingkupi anak dan lalu memaksakan ‘perintah’ tertentu pada, padahal anak tengah asyik masyuk, menyebabkan anak mengalami ‘pertentangan dalam pikirannya sendiri’: mau teruskan permainan atau nurut ayah bunda dulu?


Saat anak-anak kita yang berusia 9 tahun misalnya tengah bermain drama dan sangat asyik dengan teman-temannya. Lalu tiba-tiba orangtua memanggilnya ‘Reniiii beliiin ibu gula merah ke warung sebentar….’. Apa yang akan anak rasakan?!


Jangan dikira anak nyaman dengan situasi ini. Mau diteruskan, ketinggalan acara! Tidak diteruskan, bunda akan anggap aku tak patuh! Repot kan jadi anak jika punya orangtua tak memahami ini?


Makin besar anak makin banyak pula perbedaan harapan, keinginan dan cara mewujudkan harapan serta keinginan tersebut. Saat perbedaan ini tak ‘dikompromikan’, akibatnya anak menganggap orangtua ‘tak mengerti perasaan anak (egois)’ dan orangtua pun menganggap anaknya semakin membangkang.


Lepas dari bahasan tadi, sebagian anak memang ada yang membangkang dan sering membantah betulan (dalam artian negatif). Bukan sekadar karena perbedaan keinginan, harapan dan cara mewujudkan harapan keinginan tersebut, tetapi karena memang sikap buruk yang muncul pada diri anak.


Ada banyak penyebab sikap buruk anak yang membantah atau membangkang ini muncul. Sebagain besar penyebabnya justru bukan karena anaknya yang memang dilahirkan membangkang, tetapi karena sikap dan perilaku orangtua sendiri yang membentuknya secara tidak sengaja. Ingat, tak satu pun anak berniat di kepalanya ketika lahir untuk membangkang orangtuanya.


Ketidakkonsistenan orangtua adalah sebab utama pertama. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan orantua itu sendiri menyebabkan kredibilitas orangtua di mata anak ‘jatuh’. Bagaimana mungkin anak akan mempercayai perkataan orantua sementara jika sikap/perilaku orangtua tak sesuai dengan perkataannya! Saat Anda mengatakan ‘mulai besok nonton tv-nya satu jam aja ya’. Lalu pada saat ‘besok’ ternyata anak menangis dan lalu orangtua membiarkan anak nonton lebih dari satu jam, karena anak menangis atau ngambek, maka sejak saat itulah ‘pembangkangan’ anak akan makin sering muncul.


Maka yang diperlukan orangtua adalah ketegasan, ketegasan dan ketegasan. Ketegasan tidaklah identik dengan kekerasan. Jika Anda tegas dari awal, maka sebenarnya Anda pun akan terhindar dari banyak menghukum anak. Ketegasan tidaklah diukur dari seberapa besar volume teriakan Anda pada anak. Anda bisa tegas pada anak bahkan dengan sambil senyum.


Anda boleh sayang pada anak dan bertindak lembut pada anak. Tetapi, sayang dan lembut pada anak tidak berarti Anda lembek pada anak dan selalu mengalah karena anak menangis, protes dan marah. Anak protes, menangis dan marah adalah hal biasa saat ia mengalami kecewa. Jika Anda menyerah karena anak nangis, protes dan marah, maka siap-siaplah Anda akan dikendalikan oleh anak. Ini berbahaya buat masa depan anak sendiri. Tidak semua keinginan anak harus Anda dipenuhi. Anda boleh menolaknya dan bahkan justru pada sebagian tertentu wajib menolaknya. Jika tidak, akan bertindak dan terus mengendalikan Anda secara berlebihan.


Sebab paling sering kedua adalah tidak adanya keakraban antara orangtua dengan anak. Secara alamiah, dalam situasi normal, kita akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang kita kenal dibandingkan orang tidak kita kenal bukan? Lalu kita pun akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang akrab dengan kita, dibandingkan dengan perkataan orang yang hanya ‘dikenal’ kita. Ketidakakraban orangtua-anak dapat menyebabkan orangtua kurang ‘mendengar’ anak dan akhirnya anak pun kurang ‘menerima’ pesan orangtua.


Mengapa sebagian orangtua kurang akrab dengan anaknya? Sebagian besar orangtua hari ini 'sibuk' dengan urusan 'orangtua' sendiri. Semakin kompetisi kehidupan ketat, semakin menyebabkan orangtua harus bekerja ekstra keras untuk ‘hidup’. Ini menyebabkan sebagian orangtua harus banting tulang pergi pagi pulang malam.


Jaman dulu, orangtua cuma siang doang ke ladang.. pagi dan sore sudah ada di rumah untuk 'ngobrol' sama anak. Apalagi jaman dulu, benda-benda hiburan buatan manusia masih jarang, seperti televisi.


Hari ini, banyak anak 'terlantar' meski orangtuanya lengkap. Terlantar secara emosional. Sebagian anak jadi 'yatim piatu' pada saat orangtuanya lengkap. Jarang bicara dengan anak, hanya bicara kepada anak. Jarang mendengar curhat anak, seringnya menasihati anak. Orangtua watunya sangat tersita dan sibuk dengan pekerjaan. Judulnya demi meraih masa depan: mencapai quadran keempat, mencapai cita-cita financial freedom sehingga bisa pensiun dini dan akhirnya memiliki banyak waktu untuk anak—agar akrab dengan anak. Sayangnya dengan mengabaikan anak hari ini justru cita-cita untuk akrab dengan anak saat penisun dini tidak tercapai karena anaknya keburu ‘jauh’ secara emosional dengan orangtua.


Apalagi, orangtua hari ini memiliki saingan baru: televisi. Saat semua anggota keluarga sudah di rumah, eh yang diselami isi tayangan televisi, bukan perasaan-perasan antar anggota keluarga. Meski katanya ‘lelah dan capek’ habis bekerja seharian, ternyata tak sedikit orangtua masih memiliki waktu untuk ‘menengok’ televisi dan menyelami perasaan bintang-bintang televisi saat acting dibandingkan ‘menengok’ anak dan menyelami perasaan-perasaan anak.


Belum lagi, keterbukaan informasi menyebabkan anak-anak sekarang memiliki akses data dan informasi lebih banyak daripada anak jaman dulu. Dengan sendirinya, pengalaman orangtua akan menjadi ‘kredibilitas’ tak terbantahkan untuk anak-anak jaman dulu. Dengan sendirinya kultur patron-klien terbentuk secara alamiah. Maka, tak heran anak-anak jaman dulu lihat muka orangtua saja sudah segan. Anak jaman sekarang? Wehhh belum tentu demikian.


Perkataan orangtua di jaman dulu hampir tak bisa dibantah karena orangtua memang cenderung memiliki bahan data lebih banyak daripada anak-anaknya saat berargumen karena pengalaman hidupnya mereka lebih banyak. Sedangkan anak-anak sekarang juga memiliki akses data dan informasi yang sama dengan orangtuanya, sehingga katakanlah anak sekarang memiliki lebih banyak lagi ragam pilihan informasi. Ini mungkin yang menyebabkan anak sekarang lebih mudah dapat ‘berbeda’ dengan orangtuanya dan akhirnya jika cara mengekspresikan perbedaaan ini tidak tepat dianggap sebagai ‘bantahan’ anak pada orangtua.


Jika demikian, anak jaman sekarang lebih sering membantah dan membangkang daripada anak jaman dulu, bisa jadi betul adanya. Kesediaan orangtua untuk meluangkan setidaknya 2,5% waktu 24 jam mereka untuk anak sehingga memiliki peluang untuk menjadi lebih akrab dengan anak, lalu konsisten (tegas) dalam perkataan, sikap dan perbatan, insya Allah akan menjadi modal penting bagi anak-anak kita untuk lebih mendengar perkataan-perkataan baik dari kita. **


(
Diperkenankan untuk menyalin dan menyebarkan tulisan ini dengan tetap menyebutkan sumbernya secara utuh)

Tidak ada komentar: