Senin, 09 Agustus 2010

The Dark And The Bright Side of Video Game


Masih terbayang jelas di ingatan saya, kebiasaan bermain games komputer beberapa puluh tahun yang lalu. Namanya Sim City. Dalam permainan itu kita ditantang untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya populasi di sebuah kota dengan cara membuat kota menjadi sangat menarik untuk dihuni. Begitu intensnya saya bermain, sehingga kuliah jadi terbengkalai, badan kurus karena tidak peduli dengan urusan makan, dan agak terisolasi secara sosial. Hal lain yang mendera adalah rasa nyeri di tangan dan siku yang baru hilang setelah tidak main lagi.

Lalu saya mikir-mikir…kalau saya yang waktu itu hitungannya sudah tergolong dewasa aja bisa sangat senang main komputer games seperti itu, apalagi anak-anak ya…banyak orang tua yang mengeluh bahwa anaknya kalau sudah bermain game, tetap bergeming meskipun dipanggil orangtua atau diminta belajar. Tapi ada juga orangtua yang sengaja membelikan peralatan video games portable supaya anak tidak mengganggu kegiatan orangtua yang lagi meeting atau sibuk urusan lainnya. Diberi permainan ini anak akan diam dan tidak akan pergi jauh-jauh sehingga mudah diawasi… (kasihan dech tuh anak).

Ada Apa Dengan Video-games (AADV) ?

Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa berbagai jenis permainan khususnya video games sangat disukai oleh kebanyakan anak-anak. Sementara di sisi lain orangtua kerap mengalami kesulitan mengendalikan anak kalau sudah bermain video game Sampai saat ini memang masih ada pro dan kontra terhadap manfaat atau efek dari jenis permainan video games terhadap anak.

Beberapa penemuan terakhir mengisyaratkan bahwa tidak semua video games berakibat negatif karena ada juga juga hal-hal positif dari video games yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan yang menyangkut intelegensi maupun psikologis anak.

Polling yang dilakukan di radio Delta FM beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa kebanyakan orangtua merasa video games lebih banyak memberi pengaruh negatif ketimbang manfaat positifnya. Bahkan ada yang curi-curi bermain Championship Manager pada waktu istrinya sedang tidur. Sang ayah mulai bermain sekitar jam 11 malam sampai jam 3 pagi.

Jadi bukan permainannya yang dikhawatirkan, tapi efek kecanduan dari permainannya itu yang membuat banyak orangtua akhirnya bersikap negatif terhadap video games.

Apa efek negatif dari Video Games ?

Ada yang mengatakan bahwa bermain video games secara perlahan-lahan bisa menumpulkan rasa empati pada anak karena dia akan terbiasa melihat bahkan bermain dengan unsur-unsur kekerasan. Akibatnya berbagai kekerasan seperti memukul, menembak atau membunuh akan dianggap hal yang wajar.

Efek negatif lain adalah mengurangi pergaulan sosial anak. Anak jarang bergaul dengan teman-temannya dan lebih suka menyendiri (asosial). Paling jauh mereka akan bermain dengan teman-temannya yang menyukai games yang sama.

Video game merupakan permainan yang sangat interaktif dan pengaruhnya lebih dahsyat dari televisi. Agresi yang ditawarkan pada anak-anak lebih kuat dibandingkan tontonan di TV. Dalam permainan ini anak tidak sekedar melakukan observasi pasif tapi turut berperan aktif dalam menentukan isi permainan. Padahal menurut psikolog dari Universitas Stanford, Albert Bandura, respons agresif bukan turunan, tetapi terbentuk dari pengalaman. Beberapa permainan tertentu memang diyakini dapat memicu agresi.

Hal negatif lain adalah bahwa prestasi belajar bisa menurun karena berkurangnya waktu untuk belajar dan kelelahan karena terkuras konsentrasinya untuk bermain game. Selain itu frekuensi komunikasi dengan keluarga menjadi berkurang atau terganggu karena anak akan lebih suka berkomunikasi dengan permainannya daripada dengan orang tuanya.

Ih ngeri ah, lalu memang ada manfaat positif dari main video games ?
  • Video games dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dan bukan sekedar hiburan, seperti meningkatkan kecerdasan, kreativitas serta kemampuan untuk mengambil keputusan.
  • Sebagai media untuk mengembangkan wawasan anak (seperti permainan yang dilakukan secara interaktif, misal: kalau ada kebakaran apa yang harus ia lakukan)
  • Merupakan hiburan yang menyediakan fun dan bisa menurunkan stress anak. Di sisi lain diskusi tentang cara bermain video games tertentu bisa membuka peluang untuk mengembangkan keterampilan interpersonal
  • Membangun spirit persaingan, teamwork dan kerja sama ketika dimainkan dengan gamer-gamer lain.
  • Membuat anak-anak merasa nyaman dan familiar dengan teknologi – terutama anak perempuan, yang tidak menggunakan teknologi sesering anak cowok.
  • Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri anak saat mereka mampu menguasai permainan.
  • Mengembangkan kemampuan dalam membaca, matematika, dan memecahkan masalah.
  • Melatih koordinasi antara mata dan tangan, serta skill motorik à waktu reaksi
  • Mengakrabkan hubungan anak dan orangtua. Dengan main bersama, terjalin komunikasi satu sama lain.
  • Dapat membuka wawasan, menambah pengetahuan, meningkatkan kemampuan dan juga atensi terhadap objek-objek yang dilihat (atensi visual).

Oleh karena itu, lebih tepat apabila dikatakan bahwa waktu yang dihabiskan dan jenis permainan video game-lah yang dapat berdampak buruk pada anak.
Apa sih daya tarik Video games bagi anak remaja hingga menyebabkan kecanduan?
  • Karena berisi gambar-gambar bergerak yang penuh warna, situasi yang menantang dan kompetitif, tingkat kesulitan yang beragam, serta adanya interaksi online dengan para pemain lain, merupakan beberapa hal yang menjadikan video games menjadi sangat menarik dan menyenangkan, hingga semakin banyak orang menghabiskan banyak uang dan waktu berjam-jam untuk memainkannya.
  • Ada kemungkinan mengulang dari awal dan tetap aman
  • Rasa penasaran ingin melewati limit (perasaan tidak puas)

Apa saja ciri-ciri anak kecanduan video games?
  • Terus menerus memikirkan kegiatan bermain video game, bahkan ketika sedang belajar atau mengerjakan PR, sehingga anak jadi tidak dapat berkonsentrasi dengan apa yang sedang dilakukannya
  • Lamanya waktu bermain video game semakin bertambah. Anak tidak pernah merasa cukup dan puas bermain video game, sehingga jumlah waktu yang dihabiskan semakin meningkat dari hari ke hari
  • Ingin mengurangi atau berhenti bermain video game tapi tidak berhasil
  • Gelisah atau lekas marah ketika dilarang bermain video game.
  • Bermain game untuk melarikan diri dari masalah atau untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman (seperti rasa takut, khawatir, frustrasi, sedih, rasa bersalah, rasa tidak mampu, tidak berdaya).
  • Setelah kalah, anak tidak berhenti bermain, bahkan penasaran ingin terus bermain dengan harapan mungkin di kesempatan kali ini bisa menang.
  • Berbohong kepada orang tua atau orang lain mengenai penggunaan video game.
  • Tidak peduli melakukan tindakan yang melanggar aturan asalkan bisa bermain video game (tidak peduli terhadap hukuman apapun yang diberikan), misalnya membolos atau mencuri uang demi untuk bermain video game.
  • Lebih memilih bermain video game daripada berkumpul atau berkegiatan bersama keluarga, teman, atau berolahraga
  • Meminta uang kepada orang lain untuk membiayainya bermain video game

Bagaimana cara mengatasi kecanduan game pada anak?
  • Buat kesepakatan sejak awal, misal membatasi waktu anak bermain game sehari-harinya, yaitu maksimal 2 jam per hari
  • Disiplin dan pengawasan orang tua mutlak dilakukan. Cerewet tidak apa-apa.
  • Berikan waktu luang dan perhatian yang banyak kepada anak-anak Anda
  • Orang tua harus lebih selektif dalam mencarikan mainan untuk anak-anaknya. Sebisa mungkin permainan yang memunyai unsur edukatif, bukan permainan yang memertontonkan adegan kekerasan
  • Sebaiknya tidak menaruh peralatan video game atau komputer di kamar tidur anak.
  • Jika sudah terlanjur kecanduan, ya putuskan saja. Pasti ada gejala sakaw sebentar, tapi setelah itu akan normal. Jadilah konsisten dan tega dalam situsi ini.

Minggu, 08 Agustus 2010

Antara Orang Tua, Anak dan Buku

Sumber: Artikel ini diambil dari blog Bobby Hartanto; www.ngemongbareng.blogspot.com
Masih ingat buku apa yang paling berkesan untuk Anda ?

Saya masih ingat betapa saya sangat ingin berubah setelah membaca sebuah buku pelajaran (mata pelajaran PKK). Di situ ada seorang tokoh yang seusia dengan saya dan diceritakan sebagai anak yang rajin dan pintar. Bangun pagi, beresin tempat tidur, nyapu halaman, makan, sekolah, belajar, dan seterusnya. Pokoknya perfect banget dech!

Waktu itu saya sangat terinspirasi dan ingin meniru sang tokoh tersebut. Saya lalu mulai dengan berusaha bangun pagi dan selalu membereskan kamar serta menjaga kerapihan barang-barang. Orangtua sampai heran dengan perubahan itu.

Juga masih terbayang jelas di ingatan saya buku komik wayang yang dibelikan oleh orangtua saya. Pengarangnya RA Kosasih. Ceritanya mulai dari silsilah Pandawa sampai Perang Baratayudha, dan diakhiri dengan Pandawa Seda. Bahkan ada lanjutannya yaitu Parikesit. Dengan membaca cerita-cerita di buku itu, saya dan Bapak bisa berdiskusi. Mulai menanyakan senjata-senjata sakti para tokoh, membahas kelakuan para tokoh, sifat, sampai pada aplikasi sederhana dalam kehidupan (tentu saja untuk usia saya). Kalau sudah berbicara wayang, wah bisa panjang dan lama. I really loves wayang !

Sekarang saya menyadari bahwa sebuah buku bisa menjadi jembatan atau sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Dalam posisi saya sebagai orangtua dari 3 anak saat ini, saya sadar betul tanggung jawab yang saya pikul tidaklah ringan. Apa yang saya lakukan terhadap anak saat ini akan menentukan bagaimana anak saya nanti memperlakukan cucu saya. Dan salah satu hal yang sangat saya pentingkan adalah penanaman nilai pada anak. Saya yakin bahwa kalau anak punya nilai yang sudah terinternalisasi dalam dirinya maka dia akan lebih survive nantinya.

Proses internalisasi biasanya dilakukan melalui diskusi, bincang-bincang atau aktivitas komunikasi interpersonal lainnya. Hal ini mau tidak mau membutuhkan sebuah sarana komunikasi. Dan saya kira buku bisa menjadi salah satu sarana atau jembatan untuk anak berkomunikasi dengan orangtuanya. Selain itu masih banyak lagi manfaat yang bisa dipetik dari sebuah buku, khususnya dalam proses tumbuh kembang anak.

Bagaimana buku bisa membantu proses pendampingan anak ?

Melalui buku orangtua dapat mengenalkan aspek-aspek pendidikan atau nilai-nilai tertentu pada anak, seperti: nilai-nilai baik dan jahat, nilai persahabatan, pantang menyerah, dsb. Misalnya dalam cerita Cinderela, kita diajarkan untuk tidak mudah putus asa, tetap punya harapan, dsb. Dalam kisah 5 Sekawan, tergambar dengan jelas soal persahabatan, bagaimana berpikir kreatif dan logis. Buku Laskar Pelangi juga mengedepankan nilai perjuangan, sementara kisah Harry Potter memaparkan nilai kebaikan selalu menang atas kejahatan, dst.

Buku juga bisa menjadi sarana pembentukan karakter anak. Melalui cerita yang dituturkan anak bisa punya model yang akan diteladani. Misal : ingin menjadi seperti Lintang yang gigih dalam berjuang, ingin seperti Senopati Pamungkas yang gagah berani, atau menjadi seperti Yudistira yang bijaksana. Wah macam-macam dech.

Buku bisa menjadi sarana membangun kedekatan emosional atau keakraban antara orangtua dan anak. Saya pernah lihat seorang ayah dengan anaknya cekikikan bareng baca komik Tintin, Asterix atau Smurf. Atau seorang ibu yang bercerita sangat seru dengan anaknya tentang kantong ajaibnya Doraemon. Bahkan ada ibu yang mengaku bahwa anaknya sudah berumur cukup besar, tetapi tetap minta dibacakan buku oleh orangtuanya (didongengkan).

Buku yang dibacakan orangtua (didongengkan) bisa menjadi sarana yang sangat baik untuk melatih daya imajinasi anak. Mulai dari membayangkan wajah tokoh Hagrid, membayangkan indahnya pemandangan puncak gunung di cerita Heidi, bagaimana bentuk rumah dari coklat dan biskuit Hanzel and Gretel…wah seruu banget dech.

Jika kita ingin menjadikan buku sebagai sarana komunikasi dengan anak, apa sih tantangannya ?

Nah ini dia. Ada anak-anak yang tidak tertarik dengan buku dan lebih suka liat televisi atau film. Alasan mereka sederhana. Tinggal duduk, lihat dan dengar sudah terhibur. Buku kadang-kadang harus mikir, konsentrasi, capek dech intinya. Jadi salah satu tantangannya adalah kita harus bersaing dengan media lain, seperti televisi, permainan PS, film DVD, dsb.
Untuk bisa memanfaatkan buku, orangtua mau tidak mau juga harus membaca bukunya. Berarti ini orangtua harus menyediakan waktu untuk membaca (setidak-tidaknya membaca referensinya), atau bisa juga mengandalkan memorinya (kalau dulu sudah pernah baca). Ini adalah tantangan lain yang dihadapi orangtua.

Untuk beberapa orangtua, harga buku tidak murah. Buku yang baik dan laku di pasaran biasanya harganya cukup mahal. Salah satu solusinya adalah mencari di pasar buku bekas atau menunggu waktu diskon tiba. Selain itu buku juga membutuhkan tempat penyimpanan (rak buku) yang juga perlu dipikirkan ketersediaan ruangan dan biayanya.

Kapan usia terbaik memperkenalkan buku ?

Sedini mungkin, usia setahun sudah dapat diperkenalkan buku, bahkan sejak masa kehamilan, ibu dapat mengajak berkomunikasi dengan bercerita kepada bayi yang ada dalam kandungan. Karena kordinasi motorik belum baik, berikan buku dari plastik (yang bisa dibawa mandi), atau buku yang kertasnya tebal sekali. Buku ini akan sulit dirusak oleh anak-anak seusia mereka. Usahakan pilih yang berwarna-warni.

Selain itu yang perlu juga diperhatikan oleh orangtua adalah jenis cerita apa yang akan diperdengarkan kepada anak terkait dengan usianya. Cerita yang kompleks dan panjang, serta mengandung banyak muatan emosi sebaiknya jangan diberikan pada anak-anak yang masih SD.

Pada usia dini (umur setahun hingga tiga tahun) anak-anak sudah dapat menangkap isi sebuah cerita. Pilihlah cerita yang tidak terlalu panjang, tidak terlalu kompleks, tapi menarik. Sebaiknya banyak gambarnya daripada teks. Misal : si Kancil, Petualangan Dora, dsb. Tentu saja yang harus membacakan isi cerita adalah orangtuanya.

Pada usia antara 3 hingga 6 tahun, anak sudah dapat distimulasi untuk melatih daya khayalnya melalui cerita. Usia ini sangat penuh dengan brbagai imajinasi (mereka kita mereka bisa terbang), dan penuh dengan berbagai kemungkinan tidak terbatas (mereka pikir merek bisa bicara dengan binatang atau bernapas di bawah laut seperti Putri Duyung). Mereka juga sudah mampu mencerna cerita yang agak panjang dengan sedikit muatan emosi. Cerita-cerita karangan Hans Christian Andersen boleh untuk diperkenalkan.

Apabila anak menginjak usia 7 tahun ke atas, orang tua sebaiknya menggalakkan anak untuk membaca sendiri cerita-cerita dalam buku, komik atau majalah kesukaannya. Mereka juga suka mendengarkan cerita masa lalu orangtua atau eyangnya. Remaja boleh baca novel dan buku-buku yang agak kompleks ceritanya, atau buku buku pengembangan pribadi, kesehatan, dsb.

Bagaimana cara menggunakan buku untuk berkomunikasi ?

Pertama-tama harus ditumbuhkan budaya menyukai buku di rumah. Ini penting untuk memulai sebuah kebiasaan bersama yaitu membaca. Kalau budaya ini sudah ada, maka baru buku bisa jadi sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Caranya bisa dengan sediakan buku sebanyak mungkin, saring yang tepat untuk anak, pajang di tempat yang mudah diakses. Tunjukkan bahwa kita juga suka membaca apa saja, kapan saja. Jadikan buku sebagai hadiah ulang tahun. Kabulkan permintaan anak untuk beli buku daripada beli jajanan atau mainan.

Setelah itu coba amati buku apa yang sering dibaca oleh anak kita. Pelajari sedikit. Baca buku itu secara mandiri atau waktu anak sedang membaca tanya-tanya pada dia. Dengan demikian kita mencoba membuka jalur komunikasi dengan dia melalui hal yang dia sukai. Hati-hati jangan sampai merusak mood membacanya.

Komunikasi melalui buku juga bisa dilakukan dengan membacakan buku pada anak (yang belum remaja) menjelang tidur. Juga dengan mendiskusikan isi buku pada anak, atau menebak akhir cerita bersama anak. Diskusi bisa tentang kelakuan tokoh, kepandaian si tokoh (misal : dalam kisah misteri da vinci code), sifatnya (baik tapi judes, lemah lembut tapi culas) dsb.

Jadi bagaimana, bersediakah Anda memanfaatkan buku untuk berkomunikasi dengan anak?