Senin, 24 Mei 2010

Bersahabat Dengan Saat Anak Mogok Makan


Berbagi pengalaman bersama Prima Avianti

Ibu, pernahkah putra putri kecil Anda melakukan aksi gerakan tutup mulut saat waktu makan telah tiba? pernahkah putra putri kecil Anda 'say no to eat' atas semua jenis makanan yang ada atau yang sedang Anda tawarkan? pernahkah putra putri kecil Anda melemparkan sejuta alasan untuk menolak mentah-mentah makanan yang sudah Anda siapkan sesempurna mungkin? atau pernahkah putra putri kecil Anda sembunyi di lemari pakaian saat Anda memanggilnya untuk persiapan makan?

Ibu, bagaimana perasaan Anda? marah, sedih, panik, lelah? atau bahkan tersenyum? bersikap tenang, bersabar, bersyukur, atau biasa saja?


Sebagai manusia biasa, wajar apabila saya dan Anda, "kita semua", ada perasaan lelah, marah, dongkol, panik, sekaligus sedih. Tapi sebagai orang tua yg cerdas, kita  harus mampu berpikir cerdas pula!


Ibu, jika putra putri kecil kita sedang demo mogok makan maka duduklah sebentar, tarik nafas panjang, rilekslah sejenak, lalu berpikirlah
! dengan hati yang tenang  kita  akan mampu berpikir lebih jernih dan rasional :)

Ibu, tanyalah pada diri kita sendiri, sudah benarkah langkah kita dalam pemberian MPASI untuk putra putri kecil kita sejak awal mereka memulai hingga detik ini? sudah efektifkah cara kita? sudah bebaskah menu putra putri kecil kita dari makanan dan minuman yang bersifat instan? sudah homemade maker kah kita? sudah variatifkah menu kita? sudah maksimalkah usaha yang kita lakukan? sudah pahamkah kita dengan perasaan dan keadaan?


Ibu, pernahkah kita berpikir jika kita sedang sakit, sedang sariawan, atau sekedar lagi malas untuk makan gara-gara bete sama suami (misalnya), bahkan lagi iseng tidak mau makan, maka kita pun akan 'berpuasa' makan? pernahkah kita berpikir kalo kita yang sudah dewasa saja bisa melakukan aksi tutup mulut seperti yang putra putri kecil kita lakukan?


Tapi apakah selamanya kita akan tidak makan? pernahkah kita berpikir bahwa saat-saat mogok makan itu hanya sementara saja? pernahkah kita berpikir sementara itu tidak hanya dalam hitungan jam atau hari saja melainkan sangat mungkin dalam hitungan mingguan atau bulanan? pernahkah kita berpikir bahwa putra putri kecil kita pun memiliki perasaan seperti yang pernah kita alami dan rasakan?


Maka bersahabatlah dengan momen penting itu, momen saat putra putri kecil kita mogok makan, menolak mentah-mentah masakan hasil karya sempurna kita, bahkan 'kabur' dari pandangan kita saat waktu makan telah tiba


Ibu, demi kebaikan kesehatan putra putri kecil kita maka apa tidak sebaiknya kita hindari berpikir 'praktis' hanya karena pertimbangan berat badan, lalu ingin segalanya serba cepat dan "gak mau ribet", tapi ternyata jatuhnya justru kita memberikan 'makanan cair' yang sebenernya berfungsi persis cairan infus itu
 

Caranya mudah saja Ibu, tetap buatkan mereka makanan dengan banyak pilihan, jangan lupa buah dan sayur serta susu segar tetap kita tawarkan, persoalan nanti dia makan hanya separuh, sedikit saja, beberapa sendok, sesuap, seserut, seteguk jika itu minuman, atau mungkin bahkan lagi2 anti mangap, itu sama sekali tidak masalah! lakukanlah secara bertahap, sedikit2 namun sering.

Sedikit berbagi pengalaman pribadi, "Hizba" putra sulung saya, melakukan aksi tutup mulut sejak dia mengenal MPASI pertamanya di usia 6 bulan, dan saya yakin sayalah penyebabnya karena sejak pertama mengenal makanan padat hizba langsung saya beri makanan instan,
dimana pada makanan instan rasa lebih diutamakan, mungkin untuk tujuan "disukai anak-anak" atau mungkin tak jauh dari "lebih banyak mendapat pelanggan", secara tidak langsung kitalah yang menjadi marketing mereka dimana target konsumennya adalah anak-anak kita sendiri. Padahal, tidak diragukan lagi didalamnya banyak mengandung zat-zat yang "kurang" alami dan "kurang" tepat bila dikonsumsi anak-anak.

Ketika saya coba sharing dengan orangtua saya (tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat dan terima kasih saya), beliau mengatakan: waktu saya masih kecil, saya pun sulit makan. Dan memang demikian pola pikir secara umum, sering kali dianalogikan dengan apa yang terjadi pada ayah atau ibunya, atau dalam istilah jawa "nurun".

Hingga hizba kena sariawan, makin menjadi mogok makannya, saya coba berfikir "flanking" keluar dari pola pikir umum, mencari alternatif jawaban dengan mencoba berempati "kalau misalnya saya sariawan", apa saya bisa merasakan nikmatnya makanan sesempurna saat tidak sariawan?.

Akhirnya saya coba memberi Hizba makanan dengan banyak pilihan, semua berjalan secara alamiah, hingga alhamdulillah sekarang hizba hampir berusia 3 tahun jarang sekali ia mogok makan, bahkan hanya menu nasi tempe goreng pun dia lahap, dan seringkali makan minta  sendiri tanpa harus menunggu "perintah", bahkan makan sendiri tanpa mau disuapi.

Ibu, percayalah pada putra putri kecil kita, tetap berikan yang terbaik dengan cara yang sehat, maka mereka pun akan menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri.

semoga bermanfaat,

ummu hizballah - jundallah
"karena setiap individu itu.. unik!"

Selasa, 18 Mei 2010

Mengapa Anak Sekarang Lebih Sering Membantah Orang Tua??

Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

Direktur Auladi Parenting School/Pendiri Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA) di 15 propinsi 32 kota di Indonesia

Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.
 
Judul di atas sungguh menggelitik saya. Pertanyaan ini diajukan oleh seorang ayah pada saya di forum “yuk-jadi orangtua shalih”. Benarkah anak sekarang lebih sering membantah orangtua daripada anak jaman dulu?

Sebenarnya, sikap membantah anak pada orangtua adalah hal yang tak dapat dihindari, baik jaman dulu maupun sekarang. Apakah anak sekarang lebih sering membantah daripada anak jaman dulu? Ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mungkin perlu wawancara yang melibatkan banyak orangtua melalui sebuah penelitian yang terukur. Tetapi, bahwa anak jaman dulu dan sekarang juga pernah membantah orangtua, adalah hal yang tak dapat dihindarkan.


Mengapa saya katakan tak dapat dihindarkan?
Pertama, karena orangtua dan anak memiliki ‘pikiran’ masing-masing. Pikiran ‘tua’ dan ‘muda’ dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan keinginan, harapan hingga cara mewujudkan harapan dan keinginan tersebut. Kedua, meski kadang ada irisan, kemiripan karakter, tak dapat dipungkiri setiap manusia memiliki karakter uniknya masing-masing. Anak kembar pun yang memiliki kemiripan wajah, dapat memiliki perbedaan besar dalam karakternya. Apalagi orangtua dan anak. Dalam batas tertentu, sebenarnya adalah sebuah kewajaran jika terdapat perbedaan karakter orangtua dan anak. Sekali lagi, sepanjang karakter ini tidak negatif, wajar saja anak dan orangtua memiliki perbedaan karakter.

Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian dapat menjadi ‘peluang’ adanya pertentangan anak-orangtua. Saat anak merasa tak nyaman dengan ‘keinginan, harapan dan cara orangtua mewujudkan keinginan dan harapan tersebut—meski sebenarnya tujuan baik untuk anak’, inilah yang kadang membuat sebagian orangtua kemudian menganggapnya sebagai sikap pembangkangan anak pada orangtua.


Jika orangtua memperhatikan perbedaan dirinya dengan anak dan mengakuinya sebagai bagian dari anak, sepanjang tidak negatif, akan lebih mudah bagi orangtua untuk memperlakukan anak dan tidak membandingkan dengan dirinya di masa lalu.


Tetapi jika orangtua selalu berusaha ‘menyamakan’ anaknya dengan diriya dan selalu berusaha membuat anak agar seperti dirinya di masa lalu, perbedaan-perbedaan ini akan makin besar dan dapat mengarah pada anggapan bahwa anaknya ‘membangkang dan membantah’ dirinya. Sikap orangtua yang tak tepat inilah yang kemudian juga menyebabkan orangtua tak nyaman memiliki ‘anak seperti ini’, anak pun sebelas dua belas merasa tak nyaman memiliki ‘orangtua seperti itu’.


Kunci besarnya adalah ada pada kerendahan hati orangtua untuk memahami anaknya. Tak sedikit orangtua bertemu setiap hari dengan anaknya tapi tak mengenal anaknya. Sebagian besar orangtua mungkin mengerti kenakalan anaknya, tapi belum tentu sangat faham dengan kelebihan anaknya. Pemahaman yang tepat tentang anak inilah yang akan menentukan ‘persepsi’ yang tepat pula pada anak dan akhirnya tindakan dan perlakuan pada anak insya Allah juga akan tepat.


Jika orangtua mau rendah hati untuk terus belajar memahami anaknya, bisa jadi ada banyak perbuatan anak yang harusnya dibiarkan, tetapi malah ‘ditahan’. Padahal sebenarnya anak tengah bergairah dengan perbuatan tersebut. Akibatnya, anak jadi ‘terjebak’ untuk ‘membantah’ atau ‘membangkang’ orangtua.


Ilustrasi sederhana saya lakukan saat para peserta PSPA melakukan sebuah permainan sederhana dengan tali. Mereka diberikan tantangan permainan dengan tali tersebut. Saat waktunya habis dan lalu saya katakan ‘sudah berhenti ayah bunda’. Anda tau? Ternyata tak mudah bagi sebagian orangtua ini untuk langsung ‘patuh’ berhenti pada apa yang saya katakan. Mereka masih ‘khusyuk’ dan masih ‘istiqomah’ dengan permainannya.


Saya lalu bertanya pada para peserta dan sengaja dengan guyon menirukan kalimat yang sering dilontarkan sebagian orangtua pada anak: “Mengapa sih kalian ini susah dibilangin? Harus berapa kali ABAH bilang, dibilang berhenti ya berhenti! Telinganya disimpan dimana? Kenapa sih membangkang?!”


“Habis lagi asyik abah!” jawab sebagain peserta. “Yeee ABAH jangan marah-marah gitu dong!”, celetuk yang lain tertawa. “Kalau penasaran ya susah berhenti!”


Tahukah ayah bunda? Anak Anda pun demikian. Pada kasus tertentu, sebenarnya mereka tak bermaksud membantah atau membangkang orangtua. Tapi karena orangtua tak memahami konteks dan situasi yang melingkupi anak dan lalu memaksakan ‘perintah’ tertentu pada, padahal anak tengah asyik masyuk, menyebabkan anak mengalami ‘pertentangan dalam pikirannya sendiri’: mau teruskan permainan atau nurut ayah bunda dulu?


Saat anak-anak kita yang berusia 9 tahun misalnya tengah bermain drama dan sangat asyik dengan teman-temannya. Lalu tiba-tiba orangtua memanggilnya ‘Reniiii beliiin ibu gula merah ke warung sebentar….’. Apa yang akan anak rasakan?!


Jangan dikira anak nyaman dengan situasi ini. Mau diteruskan, ketinggalan acara! Tidak diteruskan, bunda akan anggap aku tak patuh! Repot kan jadi anak jika punya orangtua tak memahami ini?


Makin besar anak makin banyak pula perbedaan harapan, keinginan dan cara mewujudkan harapan serta keinginan tersebut. Saat perbedaan ini tak ‘dikompromikan’, akibatnya anak menganggap orangtua ‘tak mengerti perasaan anak (egois)’ dan orangtua pun menganggap anaknya semakin membangkang.


Lepas dari bahasan tadi, sebagian anak memang ada yang membangkang dan sering membantah betulan (dalam artian negatif). Bukan sekadar karena perbedaan keinginan, harapan dan cara mewujudkan harapan keinginan tersebut, tetapi karena memang sikap buruk yang muncul pada diri anak.


Ada banyak penyebab sikap buruk anak yang membantah atau membangkang ini muncul. Sebagain besar penyebabnya justru bukan karena anaknya yang memang dilahirkan membangkang, tetapi karena sikap dan perilaku orangtua sendiri yang membentuknya secara tidak sengaja. Ingat, tak satu pun anak berniat di kepalanya ketika lahir untuk membangkang orangtuanya.


Ketidakkonsistenan orangtua adalah sebab utama pertama. Ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan orantua itu sendiri menyebabkan kredibilitas orangtua di mata anak ‘jatuh’. Bagaimana mungkin anak akan mempercayai perkataan orantua sementara jika sikap/perilaku orangtua tak sesuai dengan perkataannya! Saat Anda mengatakan ‘mulai besok nonton tv-nya satu jam aja ya’. Lalu pada saat ‘besok’ ternyata anak menangis dan lalu orangtua membiarkan anak nonton lebih dari satu jam, karena anak menangis atau ngambek, maka sejak saat itulah ‘pembangkangan’ anak akan makin sering muncul.


Maka yang diperlukan orangtua adalah ketegasan, ketegasan dan ketegasan. Ketegasan tidaklah identik dengan kekerasan. Jika Anda tegas dari awal, maka sebenarnya Anda pun akan terhindar dari banyak menghukum anak. Ketegasan tidaklah diukur dari seberapa besar volume teriakan Anda pada anak. Anda bisa tegas pada anak bahkan dengan sambil senyum.


Anda boleh sayang pada anak dan bertindak lembut pada anak. Tetapi, sayang dan lembut pada anak tidak berarti Anda lembek pada anak dan selalu mengalah karena anak menangis, protes dan marah. Anak protes, menangis dan marah adalah hal biasa saat ia mengalami kecewa. Jika Anda menyerah karena anak nangis, protes dan marah, maka siap-siaplah Anda akan dikendalikan oleh anak. Ini berbahaya buat masa depan anak sendiri. Tidak semua keinginan anak harus Anda dipenuhi. Anda boleh menolaknya dan bahkan justru pada sebagian tertentu wajib menolaknya. Jika tidak, akan bertindak dan terus mengendalikan Anda secara berlebihan.


Sebab paling sering kedua adalah tidak adanya keakraban antara orangtua dengan anak. Secara alamiah, dalam situasi normal, kita akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang kita kenal dibandingkan orang tidak kita kenal bukan? Lalu kita pun akan lebih ‘mendengar’ perkataan orang yang akrab dengan kita, dibandingkan dengan perkataan orang yang hanya ‘dikenal’ kita. Ketidakakraban orangtua-anak dapat menyebabkan orangtua kurang ‘mendengar’ anak dan akhirnya anak pun kurang ‘menerima’ pesan orangtua.


Mengapa sebagian orangtua kurang akrab dengan anaknya? Sebagian besar orangtua hari ini 'sibuk' dengan urusan 'orangtua' sendiri. Semakin kompetisi kehidupan ketat, semakin menyebabkan orangtua harus bekerja ekstra keras untuk ‘hidup’. Ini menyebabkan sebagian orangtua harus banting tulang pergi pagi pulang malam.


Jaman dulu, orangtua cuma siang doang ke ladang.. pagi dan sore sudah ada di rumah untuk 'ngobrol' sama anak. Apalagi jaman dulu, benda-benda hiburan buatan manusia masih jarang, seperti televisi.


Hari ini, banyak anak 'terlantar' meski orangtuanya lengkap. Terlantar secara emosional. Sebagian anak jadi 'yatim piatu' pada saat orangtuanya lengkap. Jarang bicara dengan anak, hanya bicara kepada anak. Jarang mendengar curhat anak, seringnya menasihati anak. Orangtua watunya sangat tersita dan sibuk dengan pekerjaan. Judulnya demi meraih masa depan: mencapai quadran keempat, mencapai cita-cita financial freedom sehingga bisa pensiun dini dan akhirnya memiliki banyak waktu untuk anak—agar akrab dengan anak. Sayangnya dengan mengabaikan anak hari ini justru cita-cita untuk akrab dengan anak saat penisun dini tidak tercapai karena anaknya keburu ‘jauh’ secara emosional dengan orangtua.


Apalagi, orangtua hari ini memiliki saingan baru: televisi. Saat semua anggota keluarga sudah di rumah, eh yang diselami isi tayangan televisi, bukan perasaan-perasan antar anggota keluarga. Meski katanya ‘lelah dan capek’ habis bekerja seharian, ternyata tak sedikit orangtua masih memiliki waktu untuk ‘menengok’ televisi dan menyelami perasaan bintang-bintang televisi saat acting dibandingkan ‘menengok’ anak dan menyelami perasaan-perasaan anak.


Belum lagi, keterbukaan informasi menyebabkan anak-anak sekarang memiliki akses data dan informasi lebih banyak daripada anak jaman dulu. Dengan sendirinya, pengalaman orangtua akan menjadi ‘kredibilitas’ tak terbantahkan untuk anak-anak jaman dulu. Dengan sendirinya kultur patron-klien terbentuk secara alamiah. Maka, tak heran anak-anak jaman dulu lihat muka orangtua saja sudah segan. Anak jaman sekarang? Wehhh belum tentu demikian.


Perkataan orangtua di jaman dulu hampir tak bisa dibantah karena orangtua memang cenderung memiliki bahan data lebih banyak daripada anak-anaknya saat berargumen karena pengalaman hidupnya mereka lebih banyak. Sedangkan anak-anak sekarang juga memiliki akses data dan informasi yang sama dengan orangtuanya, sehingga katakanlah anak sekarang memiliki lebih banyak lagi ragam pilihan informasi. Ini mungkin yang menyebabkan anak sekarang lebih mudah dapat ‘berbeda’ dengan orangtuanya dan akhirnya jika cara mengekspresikan perbedaaan ini tidak tepat dianggap sebagai ‘bantahan’ anak pada orangtua.


Jika demikian, anak jaman sekarang lebih sering membantah dan membangkang daripada anak jaman dulu, bisa jadi betul adanya. Kesediaan orangtua untuk meluangkan setidaknya 2,5% waktu 24 jam mereka untuk anak sehingga memiliki peluang untuk menjadi lebih akrab dengan anak, lalu konsisten (tegas) dalam perkataan, sikap dan perbatan, insya Allah akan menjadi modal penting bagi anak-anak kita untuk lebih mendengar perkataan-perkataan baik dari kita. **


(
Diperkenankan untuk menyalin dan menyebarkan tulisan ini dengan tetap menyebutkan sumbernya secara utuh)

Senin, 03 Mei 2010

Silence Speak... Sebuah Surat Cinta

Kali ini aku benar-benar terdiam
Tak seorangpun akan mengerti pemberat suaraku...
Bahkan kaupun tak akan selalu mengerti...
Ini semua akan kita pahami satu demi satu seiring berjalannya waktu

Dalam hatiku selalu saja ada masa lalu, sekarang dan masa depan
Seperti halnya dalam hatiku yang selalu saja ada ibu bapak dan saudara-saudaraku, istriku serta anak-anakku
Seperti halnya dalam hatiku yang selalu saja ada sahabat-sahabat masa kecilku, sahabat-sahabatku sekarang, serta sahabat-sahabat seperjuanganku di masa mendatang
Seperti halnya dalam rumahku yang selalu saja ada tumpukan buku yang aku susun rapi dan berurutan dari masa ke masa

Sekarang...
Aku terduduk di gubug tua ini bukan tak berarti
Coba kau lihat rumput di sekeliling kita yang selalu ingin tegak biarpun tiupan angin memaksanya merebah
Coba kau lihat air sungai didepan kita yang selalu berusaha mengendapkan lumpur yang membuatnya tampak tak jernih biarpun selalu saja terlarut lagi
Coba kau lihat di sebelah sana, burung semak yang terluka namun masih saja berusaha terbang tinggi untuk bertahan hidup biarpun itu membuat lukanya semakin parah
Aku belajar... iya, aku belajar...

Kali ini aku benar-benar mengerti makna lantunan suara ini...
Suara rumput liar yang terhimpit berat badanku...
Suara air sungai yang terdorong ke tepian…
Suara atap gubug renta yang berusaha menahan diri untuk tidak terjatuh oleh tiupan angin

Kali ini aku mulai mengerti mengapa sungai ini tidak mudah aku lewati …
Biarpun sudah sekuat ini aku mengayuhkan dayung ditanganku...
Biarpun sudah sedetail ini aku membaca arah...
Biarpun sudah sebanyak ini pula aku membekali diri…

Kali ini aku sedikit mengerti makna tatapan itu…
Tatapan seorang tua renta yang kosong menembus angkuhnya sebuah bangunan kokoh nan megah didepannya…
Tatapan seorang anak memandang orang tua yang mengantarnya berangsur menjauh, ketika memasuki hari pertama sekolahnya
Tatapan seorang pengantin sewaktu mencium tangan orang tua yang akan ditinggalkan sendiri dirumah yang telah tua pula...

Kali ini aku tak bisa memahami banyak hal pula...
Bagaimana itu semua yang seolah sia-sia ternyata banyak berharga
Bagaimana itu semua yang seolah tangis ternyata senyum
Dan bagaimana aku bisa tidak menghargai masa lalu yang begitu indah…

Sayangku..., inilah hidupku...
Yang tidak selalu berada dalam hingar bingar keceriaan
Yang tidak selalu berada dalam sebuah kepositifan
Ataupun pula selalu dalam kemenangan...
 
Sayangku..., inilah hidupku...
Yang tidak selalu pintar untuk mengungkap hikmah yang ada
Yang tidak selalu dalam untuk mengungkap isi hatimu
Atau bahkan untuk mengungkap isi hatiku

Semua ini bukan tentang sebuah igauan di tengah lelap tidurku
Tetapi tentang bagaimana semua ini terus berjalan
Dan bagaimana semua ini harus dijalani dan dipelajari
Semua ini adalah tentang bagaimana kita perlu mengalami

Surat Cintaku Untukmu
---Arief---