Pembukaan satu terjadi sejak pukul sembilan pagi tadi. Hari itu adalah hari Jum’at. Hari paling baik dalam sepekan. Dan besok adalah hari perkiraan kelahiran menurut diagnosis ultrasonografi. Walaupun perawat menyuruh saya pulang dahulu dengan pertimbangan proses persalinan masih lama, tetap saja perasaan saya belum bisa tenang. Bahkan pikiran saya menjadi semakin tidak menentu. This is my first. Ini adalah bakal buah hati pertama saya dengan sang belahan jiwa. Dalam hati, saya sangat berharap ada seorang ibu yang menemani. Selain suami, saya ingin ibu saya juga menyaksikan.
Tepat pukul sembilan malam, frekuensi kontraksi rahim saya meningkat. Setiap lima menit sekali mencapai paling tidak tiga kali kontraksi. Sesampainya di Rumah Bersalin, perawat memeriksa keadaan saya. Ternyata baru pembukaan dua. Perawat menyarankan agar saya berjalan-jalan sebentar untuk mempercepat proses pembukaan. Pukul sepuluh malam pembukaan saya bertambah menjadi tiga. Akhirnya perawat membantu proses pembukaan saya secara manual. Lima menit kemudian saya sudah pembukaan lima. Dan pukul sebelas malam meningkat lagi menjadi pembukaan tujuh. Seketika itu juga saya digelandang oleh perawat ke ruang bersalin. Di tempat itu, saya diberi obat perangsang untuk mempercepat proses kontraksi. Dan saat itulah saya merasakan sakit yang luar biasa hingga pembukaan sempurna.
“Caesar aja, dok…”. Sepenggal kalimat itulah yang keluar dari mulut saya ketika saya sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit saat berkontraksi. Setengah berteriak, setengah merintih. Terjadi secara spontanitas. Kalimat itu lebih bernada memohon daripada memerintah. Saya sudah sangat kelelahan dengan keadaan itu. Nafas saya tersengal-sengal. Pun saya dehidrasi. Kondisi saya saat itu begitu lemah. Antara hidup dan mati. Dalam hati saya tidak pernah berhenti menyebut nama Allah. Saya berpikir kalaupun sudah tiba saatnya, saya ingin berakhir dalam keadaan husnul khotimah. Disisi lain, saya hanya ingin proses itu cepat selesai. Saya ingin segera beristirahat setelah semua peristiwa itu. Saya benar-benar sudah tidak sabar.
Namun dokter spesialis kandungan yang menangani saya pada saat itu tidak berkenan meluluskan permohonan saya. Beliau adalah seorang dokter muslimah berjilbab. Senyumnya ramah. Pembawaannya juga sangat tenang dan menyejukkan. Jauh dari sikap panik dan terburu-buru. Sambil tersenyum, dokter hanya mengatakan “Tenang, Bu. Tetap menyebut nama Allah ya. Kepalanya sudah kelihatan”. Demi Allah, saya mengerahkan seluruh energi untuk berjuang mengeluarkan sang calon pejuang dari rahim saya. Saya ingin segera melihatnya. Dan Alhamdulillah – tepat pukul tiga lebih empat puluh lima menit pagi tanpa kehadiran ibu saya – pejuang kami lahir ke dunia dengan normal, sehat dan selamat. Lantas kami menamainya Hasannashr Hizballah Amma, Tentang Seorang Penolong yang Baik dari Golongan Allah.
Masya Allah, seketika itu saya merasa tertohok. Jadi begini rasanya melahirkan. Lalu apa yang sudah saya lakukan terhadap ibu saya? Berapa banyak kata dan sikap yang sudah saya berikan untuk menyakiti hati ibu saya? Budi baik apa yang sudah saya persembahkan pada sang ibu? Doa apa selain Allahummaghfirli Dzunubi Waliwalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani Shoghiro yang sudah saya panjatkan untuk keselamatan ibu? Apakah saya sudah berbirrul walidain terutama pada sang ibu?
Maka berbahagialah mereka yang masih memiliki ibu dan selalu berbuat yang terbaik bagi beliau. Berbahagialah mereka yang masih memiliki ibu dan pernah berbuat kesalahan namun sesegera mungkin untuk bertobat kepada Allah dan bersujud di kaki sang ibu. Berbahagialah mereka yang sekarang ini sedang menjadi seorang ibu. Dan bahkan berbahagialah mereka yang sudah ditinggal pergi untuk selamanya oleh sang ibu namun senantiasa menjaga nama baik dan mendoakan keselamatan akhirat untuk beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar