“… Bangkit itu Marah, Marah jika martabat Bangsa dilecehkan …”
”… Bangkit itu Malu, Malu menjadi benalu, Malu minta melulu …”
“… Bangkit itu Tidak Ada, Tidak Ada kata menyerah …”
“… Bangkit itu Mencuri, Mencuri perhatian dunia dengan prestasi …”
Demikian potongan kata-kata yang belakangan ini sering saya dengar di televisi, dan kalau tidak salah dibawakan oleh actor watak Dedy Mizwar. Relevansi kata-kata ini adalah memperingati 100 tahun kebangkitan nasional 1908 yaitu pada saat berdirinya Budi Utomo.
Momen kebangkitan 1908 tersebut telah menjadi api pemicu keberhasilan Indonesia dalam mengentaskan bangsa dari penjajahan colonial. Dan waktu itu Indonesia memiliki banyak tokoh kharismatik yang dikagumi dan disegani oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia, katakanlah H.O.S Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantoro, Dr. Wahidin Sudirohusodo, serta Bung Karno sendiri yang juga merupakan produk Kebangkitan Nasional.
Saat ini, 100 tahun berselang, kita lihat bukan kemajuan bangsa yang terjadi tapi lebih cocoknya adalah suatu kemunduran, kemunduran “progress perkembangan dan pembangunan” baik itu perkembangan secara fisik maupun secara mental. Lihat betapa terpuruknya kita di mata dunia, saat ini bangsa kita seperti pengemis lemah yang compang camping, berjalan tak tentu arah dan tak bertujuan. Lebih parahnya lagi bangsa kita telah mengalami kemunduran secara moral, semangat serta idealisme. Kita kehilangan potensi mendasar yaitu kepercayaan diri untuk menjadi Negara Besar, menjadi bangsa yang maju.
“Apakah kita bisa bangkit di tahun ini berkaitan dengan kebangkitan yang terjadi 100 tahun lalu?” Seorang dosen FISIP Unair menjawab, “Belum tentu dan belum jelas” kenapa demikian? “karena terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya, dimana pada tahun 1908 jauh hari sebelumnya terdapat suatu proses penting yang dinamakan proses penyadaran, baik itu penyadaran berbangsa yang baik, persatuan, dan sejenisnya. Sedangkan saat ini kita lebih konsentrasi untuk proses pemupukan egosentris”. Memang benar jika dikatakan demikian, sudah bukan rahasia lagi dimana-mana kita temui semangat egosentris yang lebih dominan dari pada kebersamaan.
Membahas tentang egosentris akan mengarahkan kita pada masyarakat yang materialis, hedon dan cenderung memenuhi kebutuhan fisik dirinya dan memperbesar nafsunya, dari pada spiritualisme dan nasionalisme. Sebuah keniscayaan jika Bangsa ini “tiarap”, karena tidak adanya semangat persatuan.
Kekayaan dan kekuasaan seolah menjadi harga mati untuk masyarakat kita sekarang. Karena tak ada yang lebih dihargai dari itu semua. Artis dan entertainer jauh lebih menarik di mata masyarakat dari pada para ulama dan cendekiawan. Audisi dangdut, konser musik jauh lebih ramai ditonton dari pada sebuah majelis ilmu. Masyarakat lebih suka “bersantai” dan “terlena” dari pada “belajar” dan “berjuang”.
Budaya berfikir keras di masyarakat kita sudah mulai luntur dan lebih suka berfikir yang enteng-enteng serta hal-hal yang instan. Kita sudah mulai berani meramal dan menerka dalam ketidaktahuan dari pada belajar sebelum bicara. Kita sudah merasa lebih nyaman tidur dengan spring bed dan ruang ber-AC dari pada tidur dikelilingi buku-buku yang belum sempat ditutup.
Belum lagi ketidakseimbangan social masyarakat yang semakin besar. Sebuah rumah besar tidak lagi malu berdiri tegap di sebelah rumah kecil yang mulai rapuh. Keseharian kita semakin mengacuhkan kita dari saudara-saudara kita yang bergelut dalam kemiskinan, kita bahkan terus meninggikan posisi untuk semakin menjauhi mereka. Kebanggaan untuk menjadi yang “ter-“ seolah menertawakan mereka yang jauh tertinggal. Kita lebih nyaman berdiri di tempat paling atas, dari pada berdiri di atas bersama-sama.
Inilah fenomena masyarakat kita sekarang. Apakah sebuah kebangkitan bisa diraih dengan keadaan yang seperti ini?? Apakah sebuah keberhasilan bisa diraih dengan mentalitas yang manja?? Apakah sebuah kekuatan bisa diciptakan dengan tempaan yang instan?? Apakah sebuah kemakmuran Bangsa bisa diciptakan oleh kita seorang diri?? Tentu tidak… perjuangan yang gigih adalah satu-satunya cara yang harus ditempuh, dan kebersamaan adalah pondasi yang kuat untuk membangun kembali sebuah kekuatan. Eratkan tali persaudaraan dan kepedulian kita terhadap sesama, kepalkan tangan kuat-kuat, dan susun kembali puing-puing semangat kita untuk berjuang. Karena kita harus BANGKIT.