Kamis, 07 Januari 2010

Pasrah Karena Cinta


Oleh Fikri Yathir


Malam itu di sebuah bilik pengap penjara Auschwitz gempar. Tiga orang napi melarikan diri. Penguasa penjara meledakkan kemarahannya dengan mengambil 10 orang napi teman para napi yang melarikan diri itu.

Franciszek Grajowniczek, salah seorang yang diambil untuk dihukum mati, menjerit, “Aduh, isteriku dan anak-anakku yang malang. Aku takkan melihat mereka lagi.” Mendengar itu, Maximillian Kolbe, seorang napi lain, segera bangkit dan menyatakan akan menggantikan temannya itu untuk dihukum. Ia beserta sembilan orang lainnya disekap di penjara bawah tanah.




Menurut instruksi, mereka harus disekap sampai mati. Dua minggu kemudian, mereka dikeluarkan sebagai mayat, kecuali Kolbe. Ia masih hidup. Akhirnya, ia dibunuh dengan suntikan asam karbolik di tangannya.

Apa yang menyebabkan Kolbe memiliki daya tahan yang luar biasa? Apa yang mendorongnya untuk menggantikan kawannya?
“Rahasia kekuatan ekstra untuk bertahan ini, saya kira, tak ada hubungannya dengan teologi tertentu atau makna tertentu yang diberikannya pada kehidupan. Menurut saya, kemungkinan besar yang menimbulkan keberanian ini adalah keterikatan orang beriman kepada Tuhan. Sebutlah kecintaanya kepada Tuhan. Atau, paling tidak, kecintaannya kepada keyakinannya,” tulis Celia Haddon dalam The Miraculous Power of Love.

Kekuatan cinta memang menakjubkan. “Untuk merangsang kecerdasan, kita memerlukan kasih ibu. Tanpa orang-orang baik di sekitar kita, dalam keluarga dan pergaulan, kita resah. Sebagian di antara kita mati. Tanpa cinta, manusia tidak bisa hidup bahagia. Cinta penting untuk kesehatan jiwa dan raga kita, sama seperti vitamin, makanan bergizi, olahraga dan lingkungan yang sehat. Di Barat, masyarakat berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik buat semua orang, drainase yang baik, air minum bersih, perawatan kesehatan, jaminan sosial masa tua, bantuan khusus bagi ibu-ibu, anak-anak sekolah, rumah jompo, rumah sakit. Sebuah struktur negara yang perkasa diciptakan untuk melayani kebutuhan pokok manusia yang bersipat fisik. Tapi, kita tidak menemu-kan cinta di dalamnya,” masih kata Haddon.

Kita khawatir modernisasi telah membawa kita kepada situasi yang sama. Ekonomi kita ditegakkan di atas dasar keuntungan semata. Kita tidak lagi tersentuh oleh derita rakyat kecil yang tanahnya kita gusur. Kita pura-pura tidak tahu ketika ribuan orang kehilangan mata pencaharian karena ulah kita. Politik kita bangun hanya untuk kekuasaan. Kita tusuk kawan seiring, kita kecoh lawan. Kita singkirkan pesaing semua tanpa belas kasihan. Sistem sosial kita bertopang pada popularitas semata. Sebagai pengganti kasih sayang, kita dewakan ke-masyhuran. Seperti laron, mengejar-ngejar cahaya. Dan mati sebelum atau sesudah menyentuhnya.

Lalu, keberagamaan kita juga menjadi sejumlah doktrin kering untuk memenggal kepala orang, atau seperangkat kosmetik untuk menutup borok kita. Kita menjadi malaikat Zabaniyyah yang berwajah masam: siap memasukkan siapa saja selain kita ke neraka. Atau kita termasuk orang yang menjadikan agama sebagai permainan dan hiburan (QS. Al-An’aam: 70). Upacara-upacara agama kita selenggarakan seperti menggelar festival, tanpa ruh dan kehangatan.

Islam berarti pasrah, berserah diri. Karena apa kita pasrah kepada Dia? Karena tuntutan sosial, atau keuntungan ekonomis, atau melarikan diri dari frustasi?
Bila kita agak “maju”, kita pasrah kepada Dia karena mengharapkan pahala, ganjaran atau pamrih. Tuhan menjadi sosok yang kita “suruh” untuk memuaskan egoisme kita. Lebih maju lagi, kita berserah diri karena takut siksa, hukuman dan kekuasaannya. Di atas kita, para filsuf pasrah kepada Dia karena tuntunan akalnya. Agama itu akal. Tidak ada agama buat orang yang tidak berakal.

Masyarakat kita kini tengah merindukan keberagamaan yang lain. Bukan hanya akal. Kita ingin pasrah kepada Dia karena cinta.
Suatu hari Dzannun al-Mishri, pengikut mazhab Cinta, berkunjung kepada orang sakit. Ia dapatkan si sakit sedang mengaduh. Dzunnun berkata, “Tidak sejati seseorang mencinta bila ia tidak sabar akan pukulannya.”
Si sakit menukas, “Tidak sabar dalam mencinta bila ia tidak menikmati pukulannya.”
Dari sudut rumah ada suara: “Tidaklah mencintai Kami secara sejati orang masih mengharapkan kecintaan selain Kami.”
Al-Mutanabbi berpuisi: “Sekiranya aku bisa mengendalikan kejap mataku, aku tidak akan membukanya kecuali ketika melihatmu.”
Kita juga mendapatkan sentuhan cinta Ilahi dalam puisi LK. Ara, penyair Aceh dalam Doa Orang Buta:
“Tuhan
beri sinar kepada mereka yang awas matanya

Tuhan
beri cahaya kepada mereka yang memandang dunia dengan mata terbuka

Tuhan
kepadaku kirim saja percik kasih-Mu
tidak untuk membuka mataku
tapi untuk menyiram hatiku”

Salahkah dia yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak. Dia diberikan sinar untuk membuka matanya.
Salahkah dia yang pasrah karena menginginkan pahala-Nya? Tidak.
Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi. Mereka yang dikirim percik kasih Tuhan, untuk menyirami hatinya. Inilah keberagamaan yang membuat Anda tulus dan perkasa.

Sumber: Majalah Ummat, tanpa nomor dan tahun

Republished by DPD PKS Sidoarjo

Tidak ada komentar: