Agar orang tua lebih cerdas dalam memilih yang terbaik sewaktu anak sakit
Hari Senin, tepatnya Tanggal 1 Desember 2008, semua berjalan seperti biasa. Weekend ke Gresik kemaren menyisakan pegal-pegal di punggung. Seperti biasa, pagi itu saya ngajak si junior “Hizballah” untuk keliling komplek naik motor. Setelah itu langsung berangkat kerja.
Jam 2 siang saya pulang kantor dengan oleh-oleh “cerita lucu” untuk istri saya dan sedikit makanan dari kantor untuk anak saya. “Assalamu’alaikum…” spontan terdengar jawaban dengan suara yang cukup akrab, “Wa’alaikum salam… Hizba…!!! Ini abi udah datang, Nak!!!”. Dengan cepat anak saya memaksa lari mendekati saya, langsung saja saya sambut dengan pelukan, ciuman, dan langsung saya gendong. “Badannya kok agak panas??” saya tanya lirih, “iya seharian ini badanya agak anget, sampek 38,5 derajat, udah tak kasih Tempra juga, tapi belum reda” jawab istri saya. Spontan aja perut saya lapar, “wah… pasti sangat melelahkan nanti malam, ada mencretnya nggak? Muntahnya?”, “enggak” jawab istri saya.
Kebiasaan kami memang, tidak langsung membawa ke rumah sakit atau ke dokter jika anak sakit. Kami membiasakan untuk lebih kritis dengan melakukan observasi sendiri selama beberapa saat, begitu juga waktu itu. Saya langsung tarik motor saya ke apotik terdekat beli obat penurun panas untuk persediaan nanti malam.
Benar saja… malem jam 11 panas Hizba semakin tinggi, minta gendong terus sambil ngigau macem-macem. Saya dan istri cukup panic juga. Setiap 4 jam sekali saya kasih obat penurun panas tapi tak kunjung reda, malahan jam 1 dini hari panasnya sampai 40 derajat itupun thermometer belum bunyi Hizba keburu nangis, jadi kemungkinan sampai 40 lebih, waduh… kami tambah panik.
Jam 3 pagi langsung saya putuskan untuk bawa Hizba ke rumah sakit, karena jam segitu belum ada praktek dokter spesialis yang buka. Saya dan istri mandi bergantian sambil menunggu shubuh. Sekitar jam 4 ba’da sholat shubuh, cepat-cepat saya pamitan ke mertua untuk bawa Hizba ke rumah sakit. Kondisi jalan masih sepi jadi mobil saya pacu secepat mungkin. “Kerumah sakit mana?” tanya istri saya, “ke *** aja” saya coba kasih pertimbangan, “apa gak mending ke RS Siti Hajar aja?” tanya dia lagi, “*** aja soalnya saya tahu banyak tentang ***” saya sedikit memaksa.
Setelah sampai, pintu UGD segera saya dorong dan menuju tempat pelayanan, kami mulai daftar ini dan itu kemudian Hizballah langsung diperiksa dokter jaga. Sebagai orang tua wajar saja kalo saya banyak bertanya, cuman ada satu pertanyaan saya yang sangat “bodoh”, “apa tidak diperlukan opname, dok?”, cepat-cepat dokter itu menjawab “oh, kalo mau opname juga boleh” dan dengan cepat tangannya mengisi form rujukan ke rawat inap. “tapi kalo gak diperlukan ya gak usah dok” saya coba sedikit meng-counter. “kan bisa untuk observasi Pak, soalnya panasnya tinggi” jawabnya, “iya juga sih, takutnya kalo sampai kejang” saya mengalah. Yang saya garis bawahi di sini adalah “observasi” dan perlu diingat Hizballah tidak muntah ataupun mencret sama sekali.
Saya diarahkan ke admin untuk pendaftaran rawat inap, dikasih form opsi kelas rawat inap dsb. Setelah saya isi semua istri saya dengan sedikit kaget “lho, kok pake rawat inap?”, saya gak berani jawab karena saya juga merasa ada salah waktu konsultasi ke dokter jaga. Setelah berada diruang rawat inap, Hizballah dipasang infuse, bukannya lancar-lancar saja, tapi Hizballah menangis sangat keras dan baru kali ini dia menangis dan meronta sampai seperti itu, saya jadi ikutan pengen nangis, tapi… untungnya masih bisa saya tahan, seorang Bapak “gitu loh”.
Dengan sangat ketakutan, Hizballah memandangi tangannya yang sama sekali berbeda dari sebelumnya, “tanganku diapain?” mungkin begitu maksud tangisnya. Segera saja istri saya menggendong dan mencoba menghiburnya sedang saya mengurus administrasi untuk persiapan masuk kamar rawat inap. Akhirnya saya dapat kamar kelas 2 nomer 2, kelas 2 ditempati oleh 3 pasien dengan ukuran kamar 3x4 m. Kebetulan waktu itu tidak ada pasien lain di kamar itu.
Kurang lebih satu jam setelah diinfus, panas Hizballah mulai turun, dan kayaknya dia mulai ngantuk. Segera saya pulang untuk ambil perlengkapan Hizballah dan umminya, setelah itu saya langsung ke kantor untuk minta ijin pulang cepat. Sekitar jam 10 pagi WIB saya sudah kembali ke rumah sakit itu, saya liat Hizballah masih tidur nyenyak, tapi kali ini kami tidak sendiri lagi karena sudah ada pasien lain yang berada disebelah Hizballah.
Kondisi Hizballah sudah membaik, panasnya udah normal sekitar 37 derajat. Saya bersama istri sudah mulai diskusi tentang bagaimana hasil pemeriksaan dokter tadi pagi. Istri menunjukkan obat yang sudah ditebus, kebetulan berada dikresek putih jadi saya bisa melihat dengan jelas isinya. Dan… “infuse 4 ampul?, untuk apa ini?, infuse segini cukup untuk 2-3 hari, emangnya Hizba sakit apa kok sampai disuruh nginap 3 hari?”, saya bicara sendiri dengan sedikit kaget. “iya itu Bi… tadi tiba-tiba disuruh nebus resep ini, sedangkan dokternya gak bilang apa-apa, dan hasil labnya belum keluar” jawab istri saya. Dengan banyak tanda tanya di kepala saya menuju ruang perawat, “ibu… saya pengen tahu hasil tes darah anak saya”, “oo belum jadi Pak, ntar kalo udah jadi besok pagi biar dilihat dokternya dulu” jawabnya. “terus itu kenapa ya kok saya dikasih resep infuse 4 ampul?”, “kata dokternya gitu Pak” jawabnya lagi. Ya sudahlah saya pikir memang perawat nggak in charge dalam hal ini, saya kembali ke kamar nungguin Hizballah tidur sambil bersih-bersih.
Siang, kondisi Hizballah sangat bagus, bahkan sudah lincah sekali, tapi tetap saja masih tidak boleh banyak tingkah. Sore hari Hizba dapat temen lagi di kamar yang sama, lengkaplah 3 bed anak-anak yang tersedia semua terisi. Sampai sore, malam, bahkan sampai paginya lagi kondisinya sangat bagus. Saya berfikir untuk segera pulang karena dalam hal kesehatan dan perumahsakitan ada istilah “Nosokomial” atau gampangnya Pengendalian Infeksi, maksudnya orang yang tidak sakit berada di rumah sakit terus menerus bisa ikutan sakit, jadi pasien yang sudah memungkinkan untuk dibawa pulang lebih baik rawat jalan. Dengan pertimbangan itu saya berfikir nanti siang pasti sudah bisa pulang, itu kalo dokternya memang mengerti tentang hal itu, dan seharusnya memang mengerti tentang hal itu lha wong dia dokter.
Seperti biasa, pagi saya berangkat dari rumah sakit ke kantor. Sepulang dari kantor saya langsung ke rumah sakit. Dan, istri saya dengan sedikit kesal bilang “belum boleh pulang Bi…, katanya besok baru boleh pulang”, “waduh, lama disini sakitnya bisa tambah banyak”, saya cemas dan kecewa. Bagaimana tidak, yang satu kamar dengan anak saya ada yang typhus, ada yang mencret – muntah dengan tidak ada sekat sama sekali. Dan kalo saya boleh bilang rumah sakit ini sangat kumuh, mulai dari airnya, kelayakan kamarnya dan bahkan saluran air selokannya yang terbuka dan airnya tidak jalan.
Mencoba untuk tetap bersabar dan positive thinking, saya dan istri nunggu sampek besok. Pagi datang perasaan senang, sehabis sholat shubuh segera saya menuju ke kamar anak saya untuk ganti jaga sementara istri saya mandi dan sholat. Setelah sholat istri saya bersih-bersih dan cuci mencuci, dan Hizballah saya gendong ke depan kamar. Tak lama kemudian perawat datang membawa satu piece spuit (suntikan) komplit dengan needle (jarum) yang sudah terpasang serta isi penuh, dan dengan sigap menusukkan di saluran infuse Hizballah.
Karena Hizballah memang sudah benar-benar sehat saya berangkat kerja dengan sangat senang, dan serasa tidak sabar menunggu nanti siang. Dokter kemaren bilang bahwa sekarang bisa pulang. Tidak lama saya dikantor, saya ditelpon istri dengan sedikit menahan tangis, dia bilang Hizballah mendadak panas, muntah sekalian mencret-mencret. Drastis sekali, saya bertanya dalam hati, siapa yang memberi pertolongan saat ini sedangkan dokter tidak akan datang jika tidak ada jadwal datang yaitu besok pagi. Saya coba tidak panic dan mengikuti perkembangan lewat telpon.
Jam komputer menunjukkan pukul 2 siang, cepat-cepat saya kemasi barang-barang. Gas mobil saya tancap kenceng-kenceng (untungnya jam 2 siang belom macet). Begitu saya sampai kamar Hizballah, istri saya langsung nangis, mungkin karena badan capek dan juga bingung kenapa Hizballah mendadak kayak gini. Segera saya kemasi barang, sementara ada seorang perawat datang untuk control rutin pasien. “Jadi pulang sekarang Pak?” tanya salah seorang perawat, “iya Mbak!” saya jawab singkat, “kan, masih panas Pak, kenapa tidak besok saja?” tanya si perawat lagi (saya tidak ingat benar ucapannya, tapi kira-kira maksudnya demikian), “tidak apa-apa, saya mau rawat jalan aja ntar” saya jawab lagi.
Setelah selesai berkemas, segera saya ke ruang perawat (waktu itu sekitar pukul 15.00), saya menagih janji dokter untuk pulang sekarang. “sebentar ya Pak, saya telpon dokternya dulu karena kondisi anaknya panas lagi” kata perawat yang paling senior. “iya saya tunggu” saya jawab singkat. Agak lama menunggu akhirnya jam 16.10 saya diberi kabar bahwa Hizballah belum boleh pulang, dan disuruh menginap semalam lagi. Kontan aja darah saya naik, muka saya merah, “mmm… mending saya rawat jalan aja Bu, jadi saya tetap minta pulang sekarang” saya mencoba tetap sopan, “tapi dokternya tidak mengijinkan Pak, kalo Bapak tetap mau pulang, Bapak harus tanda tangani surat pulang paksa” dia menjawab, “iya, saya tanda tangani sekarang” mulai hilang kesabaran saya, “tadi pagi anak saya diinjeksi apa Bu?” saya sedikit tanya menyelidik, “ooo… itu antibiotic aja kok” jawabnya.
Dari jawaban itu saya coba menarik kesimpulan. Berarti 2 hari terakhir Hizballah memang sudah tidak sakit, karena yang diinjeksikan cuma antibiotic. Adapun injeksi antibiotic itu dimaksudkan untuk mencegah penyakit masuk (dalam hal ini bisa dikatakan mencegah tertular dari sekelilingnya). Saya tegaskan lagi, dalam hal “nosokomial” jika pasien tersebut memungkinkan untuk rawat jalan atau dirawat di rumah, maka lebih baik dirawat jalan atau dirawat di rumah untuk menghindari tertular penyakit dari sekitarnya, ataupun penyakit yang ada di rumah sakit itu sendiri (lingkungan yang kurang kondusif untuk kesehatan fisik dan psikologis anak). Pertanyaannya, “kenapa Hizballah tidak boleh pulang?” dan memang terbukti rumah sakit salah perhitungan karena di hari ketiga Hizballah malah sakit yang lebih parah dari waktu masuk.
“begini aja Bu, saya rawat jalan aja ke tempat praktek dokter ******* (yang menangani Hizballah)”, “ooo… dokter ******* tidak praktek disitu lagi” jawabnya, “tidak apa-apa, tempat prakteknya masih buka kok, biarpun disitu ada temannya, anaknya, atau menantunya juga tidak apa-apa, yang penting saya periksa ke sana”, “saya tanya ke dokternya dulu ya Pak” sambil berjalan ke ruangannya. Tidak lama, perawat itu muncul lagi dan bilang “Pak… iya Hizballah sudah boleh pulang, ternyata dokter ******* ada praktek di sana sore ini” jawabnya. Yah begitulah… barang-barang segera saya bawa ke mobil, setelah itu saya ke ruang perawat untuk pembayaran. “ooo pembayarannya di admin Pak, adminnya pulang jam 4 tadi, Bapak apa belum bayar?, kalo bayar nunggu adminnya dulu Pak besok pagi” kata seorang perawat, “ya belum lah Bu… lha wong Anda sendiri yang bilang kalo nunggu Anda konfirmasi dengan dokter. Saya kan bilang mau pulang dari jam 3 tadi, kenapa Anda memberitahukan kalo boleh pulang baru jam 4 lebih? Sedangkan admin Anda sudah pulang semua?? Apa ini salah saya?? Tentang admin sudah tutup itu urusan Anda yang jelas saya mau bayar dan pulang sekarang.” Saya jawab dengan sedikit kesal. “ooo bentar ya Pak, saya coba telpon UGD barangkali dititipkan di sana” sambil telpon. Tidak lama kemudian “Pak, ternyata sudah dititipkan di UGD”, “Nah… kan???” saya nyeletuk. Setelah saya bayar-bayar, maka Hizballah kali ini benar-benar pulang. Di jalan terlihat senang sekali, teriak-teriak, tertawa.
Sesampainya dirumah saya lihat kulit Hizballah banyak bintik-bintik merah dan ada cairannya. Wah, Hizballah kena gatal-gatal juga, padahal seumur-umur belum pernah Hizballah kena gatal-gatal seperti itu. Waktu saya bongkar kuitansi-kuitansi dari rumah sakit, saya lihat surat pemberitahuannya ternyata Hizballah tidak “pulang paksa” seperti yang diancamkan tetapi “pulang dengan kondisi membaik”, nah… ini ada sesuatu yang ga beres lagi, apa ini karena saya bilang bahwa saya mau rawat jalan di praktek dokter yang menangani Hizballah? Atau “tanda tangan pulang paksa” hanya suatu bentuk ancaman agar kita tidak pulang dulu? Who knows?
Karena Hizballah sakitnya tambah parah sekarang, pukul 04.00 pagi keesokan harinya saya bawa ke rumah sakit lain, kali ini ke RS Siti Hajar Sidoarjo. Di sana langsung saya bawa ke UGD, dengan pelayanan yang jauh lebih baik, Hizballah langsung didiagnosa sakit perut, “apa ini karena bakteri dok? Ini juga ada gatal-gatalnya” saya bertanya dengan sedikit menyelidik, “iya, ini dari makanannya, sedangkan gatal-gatalnya bisa karena air” jawab dokter itu. Spontan aja saya berfikir makanan dan air di rumah sakit sebelumnya, karena Hizballah sama sekali tidak makan apa-apa sesampainya dirumah sampai saya bawa ke RS Siti Hajar ini. “Rawat jalan aja ya Pak, nanti siang kalo tidak ada perubahan silahkan Bapak bawa ke sini lagi untuk rawat inap kalo memang diperlukan”. Kata dokter tersebut. “Kalo misalnya ntar siang saya bawa check up dulu gimana dok? Sebelum saya periksakan lagi ke sini”, “oo itu malah lebih baik, jadi kita ada pembanding untuk pemeriksaan” kata dokter itu. Akhirnya kami pulang membawa obat, dan alhamdulillah baru diminum sekali kondisi Hizballah jauh lebih baik. biarpun masih mencret sampai 2 atau 3 hari setelahnya tapi kondisinya terus membaik dan sekarang sudah normal lagi.
Hari Senin, tepatnya Tanggal 1 Desember 2008, semua berjalan seperti biasa. Weekend ke Gresik kemaren menyisakan pegal-pegal di punggung. Seperti biasa, pagi itu saya ngajak si junior “Hizballah” untuk keliling komplek naik motor. Setelah itu langsung berangkat kerja.
Kebiasaan kami memang, tidak langsung membawa ke rumah sakit atau ke dokter jika anak sakit. Kami membiasakan untuk lebih kritis dengan melakukan observasi sendiri selama beberapa saat, begitu juga waktu itu. Saya langsung tarik motor saya ke apotik terdekat beli obat penurun panas untuk persediaan nanti malam.
Benar saja… malem jam 11 panas Hizba semakin tinggi, minta gendong terus sambil ngigau macem-macem. Saya dan istri cukup panic juga. Setiap 4 jam sekali saya kasih obat penurun panas tapi tak kunjung reda, malahan jam 1 dini hari panasnya sampai 40 derajat itupun thermometer belum bunyi Hizba keburu nangis, jadi kemungkinan sampai 40 lebih, waduh… kami tambah panik.
Jam 3 pagi langsung saya putuskan untuk bawa Hizba ke rumah sakit, karena jam segitu belum ada praktek dokter spesialis yang buka. Saya dan istri mandi bergantian sambil menunggu shubuh. Sekitar jam 4 ba’da sholat shubuh, cepat-cepat saya pamitan ke mertua untuk bawa Hizba ke rumah sakit. Kondisi jalan masih sepi jadi mobil saya pacu secepat mungkin. “Kerumah sakit mana?” tanya istri saya, “ke *** aja” saya coba kasih pertimbangan, “apa gak mending ke RS Siti Hajar aja?” tanya dia lagi, “*** aja soalnya saya tahu banyak tentang ***” saya sedikit memaksa.
Setelah sampai, pintu UGD segera saya dorong dan menuju tempat pelayanan, kami mulai daftar ini dan itu kemudian Hizballah langsung diperiksa dokter jaga. Sebagai orang tua wajar saja kalo saya banyak bertanya, cuman ada satu pertanyaan saya yang sangat “bodoh”, “apa tidak diperlukan opname, dok?”, cepat-cepat dokter itu menjawab “oh, kalo mau opname juga boleh” dan dengan cepat tangannya mengisi form rujukan ke rawat inap. “tapi kalo gak diperlukan ya gak usah dok” saya coba sedikit meng-counter. “kan bisa untuk observasi Pak, soalnya panasnya tinggi” jawabnya, “iya juga sih, takutnya kalo sampai kejang” saya mengalah. Yang saya garis bawahi di sini adalah “observasi” dan perlu diingat Hizballah tidak muntah ataupun mencret sama sekali.
Saya diarahkan ke admin untuk pendaftaran rawat inap, dikasih form opsi kelas rawat inap dsb. Setelah saya isi semua istri saya dengan sedikit kaget “lho, kok pake rawat inap?”, saya gak berani jawab karena saya juga merasa ada salah waktu konsultasi ke dokter jaga. Setelah berada diruang rawat inap, Hizballah dipasang infuse, bukannya lancar-lancar saja, tapi Hizballah menangis sangat keras dan baru kali ini dia menangis dan meronta sampai seperti itu, saya jadi ikutan pengen nangis, tapi… untungnya masih bisa saya tahan, seorang Bapak “gitu loh”.
Dengan sangat ketakutan, Hizballah memandangi tangannya yang sama sekali berbeda dari sebelumnya, “tanganku diapain?” mungkin begitu maksud tangisnya. Segera saja istri saya menggendong dan mencoba menghiburnya sedang saya mengurus administrasi untuk persiapan masuk kamar rawat inap. Akhirnya saya dapat kamar kelas 2 nomer 2, kelas 2 ditempati oleh 3 pasien dengan ukuran kamar 3x4 m. Kebetulan waktu itu tidak ada pasien lain di kamar itu.
Kurang lebih satu jam setelah diinfus, panas Hizballah mulai turun, dan kayaknya dia mulai ngantuk. Segera saya pulang untuk ambil perlengkapan Hizballah dan umminya, setelah itu saya langsung ke kantor untuk minta ijin pulang cepat. Sekitar jam 10 pagi WIB saya sudah kembali ke rumah sakit itu, saya liat Hizballah masih tidur nyenyak, tapi kali ini kami tidak sendiri lagi karena sudah ada pasien lain yang berada disebelah Hizballah.
Kondisi Hizballah sudah membaik, panasnya udah normal sekitar 37 derajat. Saya bersama istri sudah mulai diskusi tentang bagaimana hasil pemeriksaan dokter tadi pagi. Istri menunjukkan obat yang sudah ditebus, kebetulan berada dikresek putih jadi saya bisa melihat dengan jelas isinya. Dan… “infuse 4 ampul?, untuk apa ini?, infuse segini cukup untuk 2-3 hari, emangnya Hizba sakit apa kok sampai disuruh nginap 3 hari?”, saya bicara sendiri dengan sedikit kaget. “iya itu Bi… tadi tiba-tiba disuruh nebus resep ini, sedangkan dokternya gak bilang apa-apa, dan hasil labnya belum keluar” jawab istri saya. Dengan banyak tanda tanya di kepala saya menuju ruang perawat, “ibu… saya pengen tahu hasil tes darah anak saya”, “oo belum jadi Pak, ntar kalo udah jadi besok pagi biar dilihat dokternya dulu” jawabnya. “terus itu kenapa ya kok saya dikasih resep infuse 4 ampul?”, “kata dokternya gitu Pak” jawabnya lagi. Ya sudahlah saya pikir memang perawat nggak in charge dalam hal ini, saya kembali ke kamar nungguin Hizballah tidur sambil bersih-bersih.
Siang, kondisi Hizballah sangat bagus, bahkan sudah lincah sekali, tapi tetap saja masih tidak boleh banyak tingkah. Sore hari Hizba dapat temen lagi di kamar yang sama, lengkaplah 3 bed anak-anak yang tersedia semua terisi. Sampai sore, malam, bahkan sampai paginya lagi kondisinya sangat bagus. Saya berfikir untuk segera pulang karena dalam hal kesehatan dan perumahsakitan ada istilah “Nosokomial” atau gampangnya Pengendalian Infeksi, maksudnya orang yang tidak sakit berada di rumah sakit terus menerus bisa ikutan sakit, jadi pasien yang sudah memungkinkan untuk dibawa pulang lebih baik rawat jalan. Dengan pertimbangan itu saya berfikir nanti siang pasti sudah bisa pulang, itu kalo dokternya memang mengerti tentang hal itu, dan seharusnya memang mengerti tentang hal itu lha wong dia dokter.
Seperti biasa, pagi saya berangkat dari rumah sakit ke kantor. Sepulang dari kantor saya langsung ke rumah sakit. Dan, istri saya dengan sedikit kesal bilang “belum boleh pulang Bi…, katanya besok baru boleh pulang”, “waduh, lama disini sakitnya bisa tambah banyak”, saya cemas dan kecewa. Bagaimana tidak, yang satu kamar dengan anak saya ada yang typhus, ada yang mencret – muntah dengan tidak ada sekat sama sekali. Dan kalo saya boleh bilang rumah sakit ini sangat kumuh, mulai dari airnya, kelayakan kamarnya dan bahkan saluran air selokannya yang terbuka dan airnya tidak jalan.
Mencoba untuk tetap bersabar dan positive thinking, saya dan istri nunggu sampek besok. Pagi datang perasaan senang, sehabis sholat shubuh segera saya menuju ke kamar anak saya untuk ganti jaga sementara istri saya mandi dan sholat. Setelah sholat istri saya bersih-bersih dan cuci mencuci, dan Hizballah saya gendong ke depan kamar. Tak lama kemudian perawat datang membawa satu piece spuit (suntikan) komplit dengan needle (jarum) yang sudah terpasang serta isi penuh, dan dengan sigap menusukkan di saluran infuse Hizballah.
Karena Hizballah memang sudah benar-benar sehat saya berangkat kerja dengan sangat senang, dan serasa tidak sabar menunggu nanti siang. Dokter kemaren bilang bahwa sekarang bisa pulang. Tidak lama saya dikantor, saya ditelpon istri dengan sedikit menahan tangis, dia bilang Hizballah mendadak panas, muntah sekalian mencret-mencret. Drastis sekali, saya bertanya dalam hati, siapa yang memberi pertolongan saat ini sedangkan dokter tidak akan datang jika tidak ada jadwal datang yaitu besok pagi. Saya coba tidak panic dan mengikuti perkembangan lewat telpon.
Jam komputer menunjukkan pukul 2 siang, cepat-cepat saya kemasi barang-barang. Gas mobil saya tancap kenceng-kenceng (untungnya jam 2 siang belom macet). Begitu saya sampai kamar Hizballah, istri saya langsung nangis, mungkin karena badan capek dan juga bingung kenapa Hizballah mendadak kayak gini. Segera saya kemasi barang, sementara ada seorang perawat datang untuk control rutin pasien. “Jadi pulang sekarang Pak?” tanya salah seorang perawat, “iya Mbak!” saya jawab singkat, “kan, masih panas Pak, kenapa tidak besok saja?” tanya si perawat lagi (saya tidak ingat benar ucapannya, tapi kira-kira maksudnya demikian), “tidak apa-apa, saya mau rawat jalan aja ntar” saya jawab lagi.
Setelah selesai berkemas, segera saya ke ruang perawat (waktu itu sekitar pukul 15.00), saya menagih janji dokter untuk pulang sekarang. “sebentar ya Pak, saya telpon dokternya dulu karena kondisi anaknya panas lagi” kata perawat yang paling senior. “iya saya tunggu” saya jawab singkat. Agak lama menunggu akhirnya jam 16.10 saya diberi kabar bahwa Hizballah belum boleh pulang, dan disuruh menginap semalam lagi. Kontan aja darah saya naik, muka saya merah, “mmm… mending saya rawat jalan aja Bu, jadi saya tetap minta pulang sekarang” saya mencoba tetap sopan, “tapi dokternya tidak mengijinkan Pak, kalo Bapak tetap mau pulang, Bapak harus tanda tangani surat pulang paksa” dia menjawab, “iya, saya tanda tangani sekarang” mulai hilang kesabaran saya, “tadi pagi anak saya diinjeksi apa Bu?” saya sedikit tanya menyelidik, “ooo… itu antibiotic aja kok” jawabnya.
Dari jawaban itu saya coba menarik kesimpulan. Berarti 2 hari terakhir Hizballah memang sudah tidak sakit, karena yang diinjeksikan cuma antibiotic. Adapun injeksi antibiotic itu dimaksudkan untuk mencegah penyakit masuk (dalam hal ini bisa dikatakan mencegah tertular dari sekelilingnya). Saya tegaskan lagi, dalam hal “nosokomial” jika pasien tersebut memungkinkan untuk rawat jalan atau dirawat di rumah, maka lebih baik dirawat jalan atau dirawat di rumah untuk menghindari tertular penyakit dari sekitarnya, ataupun penyakit yang ada di rumah sakit itu sendiri (lingkungan yang kurang kondusif untuk kesehatan fisik dan psikologis anak). Pertanyaannya, “kenapa Hizballah tidak boleh pulang?” dan memang terbukti rumah sakit salah perhitungan karena di hari ketiga Hizballah malah sakit yang lebih parah dari waktu masuk.
“begini aja Bu, saya rawat jalan aja ke tempat praktek dokter ******* (yang menangani Hizballah)”, “ooo… dokter ******* tidak praktek disitu lagi” jawabnya, “tidak apa-apa, tempat prakteknya masih buka kok, biarpun disitu ada temannya, anaknya, atau menantunya juga tidak apa-apa, yang penting saya periksa ke sana”, “saya tanya ke dokternya dulu ya Pak” sambil berjalan ke ruangannya. Tidak lama, perawat itu muncul lagi dan bilang “Pak… iya Hizballah sudah boleh pulang, ternyata dokter ******* ada praktek di sana sore ini” jawabnya. Yah begitulah… barang-barang segera saya bawa ke mobil, setelah itu saya ke ruang perawat untuk pembayaran. “ooo pembayarannya di admin Pak, adminnya pulang jam 4 tadi, Bapak apa belum bayar?, kalo bayar nunggu adminnya dulu Pak besok pagi” kata seorang perawat, “ya belum lah Bu… lha wong Anda sendiri yang bilang kalo nunggu Anda konfirmasi dengan dokter. Saya kan bilang mau pulang dari jam 3 tadi, kenapa Anda memberitahukan kalo boleh pulang baru jam 4 lebih? Sedangkan admin Anda sudah pulang semua?? Apa ini salah saya?? Tentang admin sudah tutup itu urusan Anda yang jelas saya mau bayar dan pulang sekarang.” Saya jawab dengan sedikit kesal. “ooo bentar ya Pak, saya coba telpon UGD barangkali dititipkan di sana” sambil telpon. Tidak lama kemudian “Pak, ternyata sudah dititipkan di UGD”, “Nah… kan???” saya nyeletuk. Setelah saya bayar-bayar, maka Hizballah kali ini benar-benar pulang. Di jalan terlihat senang sekali, teriak-teriak, tertawa.
Sesampainya dirumah saya lihat kulit Hizballah banyak bintik-bintik merah dan ada cairannya. Wah, Hizballah kena gatal-gatal juga, padahal seumur-umur belum pernah Hizballah kena gatal-gatal seperti itu. Waktu saya bongkar kuitansi-kuitansi dari rumah sakit, saya lihat surat pemberitahuannya ternyata Hizballah tidak “pulang paksa” seperti yang diancamkan tetapi “pulang dengan kondisi membaik”, nah… ini ada sesuatu yang ga beres lagi, apa ini karena saya bilang bahwa saya mau rawat jalan di praktek dokter yang menangani Hizballah? Atau “tanda tangan pulang paksa” hanya suatu bentuk ancaman agar kita tidak pulang dulu? Who knows?
Karena Hizballah sakitnya tambah parah sekarang, pukul 04.00 pagi keesokan harinya saya bawa ke rumah sakit lain, kali ini ke RS Siti Hajar Sidoarjo. Di sana langsung saya bawa ke UGD, dengan pelayanan yang jauh lebih baik, Hizballah langsung didiagnosa sakit perut, “apa ini karena bakteri dok? Ini juga ada gatal-gatalnya” saya bertanya dengan sedikit menyelidik, “iya, ini dari makanannya, sedangkan gatal-gatalnya bisa karena air” jawab dokter itu. Spontan aja saya berfikir makanan dan air di rumah sakit sebelumnya, karena Hizballah sama sekali tidak makan apa-apa sesampainya dirumah sampai saya bawa ke RS Siti Hajar ini. “Rawat jalan aja ya Pak, nanti siang kalo tidak ada perubahan silahkan Bapak bawa ke sini lagi untuk rawat inap kalo memang diperlukan”. Kata dokter tersebut. “Kalo misalnya ntar siang saya bawa check up dulu gimana dok? Sebelum saya periksakan lagi ke sini”, “oo itu malah lebih baik, jadi kita ada pembanding untuk pemeriksaan” kata dokter itu. Akhirnya kami pulang membawa obat, dan alhamdulillah baru diminum sekali kondisi Hizballah jauh lebih baik. biarpun masih mencret sampai 2 atau 3 hari setelahnya tapi kondisinya terus membaik dan sekarang sudah normal lagi.
1 komentar:
setidaknya hikmah dari kejadian itu,, kita bisa lebi cerdas lagi saat menghadapi (terutama) anak sakit dan yg paling penting bulan depannya (januari) ternyata uda ada si kecil di rahim ummi,, alhamdulillah,,^^
love you abi! u're my man! :-*
Posting Komentar