Oleh : Prima Avianti S. Psi
‘’Jika surga dan neraka tak pernah ada...’’
‘’Masihkah kau bersujud kepadaNya…??’’
-inspired by Chrisye’s song-
Padahal baru beberapa waktu yang lalu, lidah ini bekata, bibir ini berucap, jari ini mencatat, juga hati ini bertekad, kalo diri ini harus berubah. Berubah jadi makhluk yang lebih baik. Makhluk yang bertanggung jawab, setidaknya bagi diri sendiri. Makhluk yang tidak pernah berhenti belajar bahkan hanya sekedar dari sebuah fenomena kedipan mata atau petikan jari. Makhluk yang selalu berusaha mengambil hikmah dari sebuah peristiwa sedetik yang lalu. Juga makhluk yang tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Dzat yang Maha Agung. Namun hanya dalam hitungan tiga kali bulan purnama, semua janji itu berubah menjadi sederetan catatan ”list to-do” yang sifatnya boleh dilakukan boleh tidak. Bahkan diri ini cenderung permisif dan memaafkan diri sendiri apabila ternyata ada beberapa bahkan hampir semua poin yang terlewat. Astaghfirullah…
Terbersit dalam pikiran, tidak salah lagi ini pasti perbuatan syaitan. Syaitan yang sudah mempengaruhi diri ini untuk tidak apa-apa tidak melakukan janji-janji yang sudah tercatat. Syaitan yang sudah membujuk hati ini untuk boleh-boleh saja menunda-nunda pekerjaan. Syaitan yang sudah menyuruh keinginan diri ini untuk mengulur-ulur waktu. Syaitan yang sudah merasuki pikiran ini untuk menganggap wajar melanggar komitmen buatan sendiri. Syaitan lah yang menjadi tersangka utama dalam skenario pelanggaran undang-undang pribadi ini.
Diri ini juga terus berpikir dan melakukan rasionalisasi dalam rangka pembelaan diri. Meyakinkan pada segenap diri bahwa bukan diri ini yang bersalah. Berupaya untuk melakukan penyangkalan terhadap segala tuduhan dosa yang dialamatkan pada diri ini. Dan memaklumi diri sendiri apabila diri ini ‘belum’ mampu melakukan salah satu, salah dua, atau bahkan salah semuanya dari seluruh daftar prioritas yang ada.
Lucu sekali…
Padahal di saat yang sama, dalam hati ini seperti sedang terjadi semacam kompromi, negosiasi, tawar menawar, adu mulut, bahkan perang saudara antara diri ini dan ‘diri ini’ juga. Di satu diri mengatakan, hari ini diri ini ada beberapa poin prioritas yang harus dilakukan. Di diri yang lain mengatakan, prioritas itu tidak terlalu ‘penting’ bagi pemula, jadi boleh tidak dilakukan hari ini dan bisa dikerjakan nanti malam atau besok pagi. Ternyata diri yang lain juga telah mengetahui celah seluas lubang semut untuk melanggar peraturan dengan cara yang ‘sehat’. Seperti itulah diri yang lain bekerja. Dan celakanya, diri ini selalu takluk dan bertekuk lutut padanya.
Pernah suatu waktu diri ini mencoba mengalahkan diri yang lain itu. Diri ini ada deadline untuk menghafal QS. An-Naba’: 1-5 beserta tafsir untuk hari ini. Masya Allah, sungguh luar biasa beratnya! Walaupun tidak sampai mengeluarkan peluh dan darah, namun cukup membuang energi hati dan pikiran. Sempat terjadi debat kusir dalam hati, juga berpikir keras kalau tidak sekarang lalu kapan lagi. Diri ini pun terus memeras otak, mungkin saja kesempatan itu tidak lama atau kalau lama sekalipun diri ini bisa apa untuk mewariskan ilmu berharga kepada buah hati atau generasi selanjutnya. Sedemikian diri ini berjuang dan ternyata ‘berhasil’ memenangkan pertempuran sesaat ini. Diri ini berusaha menyetorkan hasil belajarnya kepada belahan jiwanya. Karena bagi diri ini, belahan jiwa bukan sekedar “half is mine” melainkan sesosok rekan kerja yang berfungsi sebagai korektor. Tidak terasa dalam seratus enam puluh delapan jam, diri ini sudah sampai pada ayat ketiga puluh dari empat puluh ayat QS. An-Naba’ berikut terjemahannya. Ini berarti diri ini hanya butuh dua puluh empat jam lagi untuk menyempurnakan satu surat di halaman pertama pada juz tiga puluh dalam sebuah kitab suci. Subhanallah, sungguh luar biasa leganya!
Namun justru disinilah letak kelemahan diri ini. Cepat sekali puas. Mudah sekali terlena akan kebanggaan-kebanggaan baru. Dan terus terbius akan keberhasilan pencapaian pribadi. Hingga diri ini tidak menyadari bahwa pada saat itulah diri ini sebenarnya belum berhasil. Belum melakukan apa-apa. Bahkan tidak memulai apapun. Ibarat sebuah pepesan kosong. Sudah disiapkan matang-matang namun tidak berisi. Just do nothing. Ironis sekali!
Dengan segala kekuatan hati, diri ini mencoba untuk bergerak kembali. Menggeliat dan bangkit. Mengumpulkan satu demi satu patahan-patahan puzzle semangat yang tercecer, nyaris berantakan. Hingga diri ini menjadi sosok yang berbeda, sosok yang baru, nyaris sempurna. Dan mulai mereview serta mereplay memori yang telah lalu. Hafalan surat ketujuh puluh delapan Makiyyah dari Al-Qur’anul Karim. Tertatih-tatih diri ini mencoba mengingat kembali pola-pola unik yang terjadi pada bacaan dan tafsir di tiap ayatnya. Tidak terlalu buruk untuk dinilai. Hanya saja agak tersendat dan tidak selancar dahulu. Dalam hati, diri ini berbisik ‘wajar’. Bahkan ada selentingan suara sumbang dalam diri ini bernada meremehkan, menggampangkan, dan menyepelekan. Ah, seperti itu-itu saja ayatnya, bisa lah kalau dibuat teknik ‘jembatan keledai’. Parahnya, ternyata diri ini melakukannya dengan sengaja dan terkesan tidak peduli dengan kesengajaannya itu. Diri ini lalu mengabaikannya. Hingga terlanjur melalaikannya.
Sementara pada kesempatan yang lain, pada suatu Subuh yang menenangkan, diri ini pernah membuka kitab paling suci sedunia akhirat dan tepat berada di surat Ali-‘Imran ayat 145. Allah berfirman ‘’sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’’. Masya Allah! Terlebih setelah diri ini mengetahui ayat tersebut merupakan ayat teguran bagi para sahabat Rasul yang tidak berdisiplin. Sungguh, diri ini merasa sangat tersindir. Bukan persoalan diri ini sebagai sahabat Rasul. Justru ‘hanya’ sebagai umat Rasul saja itulah, kok bisa-bisanya diri ini berjalan melenggang seenaknya di atas bumi Allah. Tiba-tiba saja diri ini merasa semua jari telunjuk para makhluk mengarah ke diri ini sebagai terdakwa.
Ini jelas bukan sekedar syaitan. Bukan sekedar syaitan yang sudah mempengaruhi diri ini untuk tidak apa-apa tidak melakukan janji-janji yang sudah tercatat. Bukan sekedar syaitan yang sudah membujuk hati ini untuk boleh-boleh saja menunda-nunda pekerjaan. Bukan sekedar syaitan yang sudah merasuki pikiran ini untuk menganggap wajar melanggar komitmen buatan sendiri. Bukan sekedar syaitan yang sudah menyuruh keinginan diri ini untuk mengulur-ulur waktu. Juga bukan sekedar syaitan yang menjadi tersangka utama dalam skenario pelanggaran undang-undang pribadi ini.
‘’Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu’’
-QS. Al-Baqarah: 208-
Adalah syaitan yang berada dalam ‘diri ini’. Syaitan yang sudah menjelma menjadi ‘diri ini’. ‘Diri ini’ yang lain tapi tetap berada dalam diri ini juga. ‘Diri ini’ melawan diri ini. ‘Diri ini’ lah musuh yang nyata bagi diri ini. ‘Diri ini’ lah yang sudah memerintahkan dan menggerakkan segenap diri ini menjadi tidak bergerak. Tidak berfungsi dan tidak produktif. Menjadi diam. Menjadi MALAS.
Malas. Itulah kata yang paling representatif untuk mendeskripsikan sifat dan karakter yang melekat pada diri ini. Sungguh telah berdosa diri ini sudah ‘menuduh’ syaitan yang bukan-bukan. Entah sudah berapa kaya diri ini mengoleksi suatu hal yang bernama dosa. Bahkan bisa dikatakan diri ini lebih rendah daripada syaitan. Astaghfirullah. Na’udzubillah!
Tidak bermaksud membela syaitan. Walaupun sempat juga terlintas dalam pikiran, kasihan juga ‘ya syaitan terus yang disalahkan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dosa pasti syaitan yang memulai. Atau mungkin segala perbuatan yang berbau haram pastilah syaitan juga yang mempengaruhi. Menggelikan sekali. Atau mungkin memprihatinkan sekali. Hanya sebagai peringatan untuk diri sendiri, bahwa cukuplah sudah mengkambinghitamkan sesuatu dalam rangka pembelaan diri. Ataupun mencari tameng dalam rangka perlindungan diri. Lihatlah saja ke dalam diri ini. Berinstropeksilah. Berevaluasilah. Karena pada dasarnya ‘diri ini’ lah yang menjadi biang kerok atas semuanya. Karena sekali lagi ‘diri ini’ lah yang malas. Bukan lagi syaitan juga bukan siapa-siapa.
Beruntung diri ini karena Allah Maha Pengampun. Allah Maha Pemaaf. Allah Maha Penolong. Pada janjinya yang terbentang di surat Ali-’Imran ayat 133-136, Allah berfirman ’’Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, sedang mereka kekal didalamnya. Dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal’’
Subhanallah. Allahu Akbar!! Diri ini sudah sangat keterlaluan. Sudah sangat kurang ajar. Astaghfirullah. Jangan sampai diri ini menjadi makhluk yang tidak tahu berterima kasih. Menjadi makhluk yang hanya mengandalkan satu ayat yang berbicara tentang ampunan setelah membaca satu ayat lainnya yang berbicara tentang laknat. Berpikir tidak mengapa diri ini berbuat dosa toh Allah ‘kan Maha Pemaaf. Masya Allah. Astaghfirullah. Astaghhfirullah. Astaghfirullah. Na’udzubillah!
‘’Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’’
-QS. Al-Baqarah: 159-160-
Bahkan jauh sebelum diri ini lahir ke dunia karena rahmat Allah, Allah sudah menjelaskan segala sesuatu dampak baik dan buruk dari perbuatan yang akan diri ini lakukan. Sungguh Allah Maha Mengetahui! Allah Maha Besar! Allah sudah teramat adil. Diri ini tercipta sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhlukNya yang lain. Yang menjadi pembeda adalah akal dan hati. Dengan keduanya diri ini tidak hanya sekedar mampu berpikir, akan tetapi lebih dari itu. Diri ini mampu memilih jalan yang Diridhoi, bahkan mengambil keputusan yang paling kecil hingga besar, ataupun yang paling sepele hingga penting sekalipun hanya karena Allah. Kalau memang ‘diri ini’ mampu berbuat tidak benar, lalu mengapa diri ini tidak mampu berbuat yang tidak salah. Kalau memang ‘diri ini’ sanggup memilih jalan yang menyimpang, lalu mengapa diri ini tidak sanggup memilih jalan yang lurus.
‘’Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian’’
‘’Melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh’’
‘’Juga nasihat kepada kebenaran dan kesabaran’’
-QS. Al-Ashr: 1-3-
‘’Masihkah kau bersujud kepadaNya…??’’
-inspired by Chrisye’s song-
Padahal baru beberapa waktu yang lalu, lidah ini bekata, bibir ini berucap, jari ini mencatat, juga hati ini bertekad, kalo diri ini harus berubah. Berubah jadi makhluk yang lebih baik. Makhluk yang bertanggung jawab, setidaknya bagi diri sendiri. Makhluk yang tidak pernah berhenti belajar bahkan hanya sekedar dari sebuah fenomena kedipan mata atau petikan jari. Makhluk yang selalu berusaha mengambil hikmah dari sebuah peristiwa sedetik yang lalu. Juga makhluk yang tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Dzat yang Maha Agung. Namun hanya dalam hitungan tiga kali bulan purnama, semua janji itu berubah menjadi sederetan catatan ”list to-do” yang sifatnya boleh dilakukan boleh tidak. Bahkan diri ini cenderung permisif dan memaafkan diri sendiri apabila ternyata ada beberapa bahkan hampir semua poin yang terlewat. Astaghfirullah…
Terbersit dalam pikiran, tidak salah lagi ini pasti perbuatan syaitan. Syaitan yang sudah mempengaruhi diri ini untuk tidak apa-apa tidak melakukan janji-janji yang sudah tercatat. Syaitan yang sudah membujuk hati ini untuk boleh-boleh saja menunda-nunda pekerjaan. Syaitan yang sudah menyuruh keinginan diri ini untuk mengulur-ulur waktu. Syaitan yang sudah merasuki pikiran ini untuk menganggap wajar melanggar komitmen buatan sendiri. Syaitan lah yang menjadi tersangka utama dalam skenario pelanggaran undang-undang pribadi ini.
Diri ini juga terus berpikir dan melakukan rasionalisasi dalam rangka pembelaan diri. Meyakinkan pada segenap diri bahwa bukan diri ini yang bersalah. Berupaya untuk melakukan penyangkalan terhadap segala tuduhan dosa yang dialamatkan pada diri ini. Dan memaklumi diri sendiri apabila diri ini ‘belum’ mampu melakukan salah satu, salah dua, atau bahkan salah semuanya dari seluruh daftar prioritas yang ada.
Lucu sekali…
Padahal di saat yang sama, dalam hati ini seperti sedang terjadi semacam kompromi, negosiasi, tawar menawar, adu mulut, bahkan perang saudara antara diri ini dan ‘diri ini’ juga. Di satu diri mengatakan, hari ini diri ini ada beberapa poin prioritas yang harus dilakukan. Di diri yang lain mengatakan, prioritas itu tidak terlalu ‘penting’ bagi pemula, jadi boleh tidak dilakukan hari ini dan bisa dikerjakan nanti malam atau besok pagi. Ternyata diri yang lain juga telah mengetahui celah seluas lubang semut untuk melanggar peraturan dengan cara yang ‘sehat’. Seperti itulah diri yang lain bekerja. Dan celakanya, diri ini selalu takluk dan bertekuk lutut padanya.
Pernah suatu waktu diri ini mencoba mengalahkan diri yang lain itu. Diri ini ada deadline untuk menghafal QS. An-Naba’: 1-5 beserta tafsir untuk hari ini. Masya Allah, sungguh luar biasa beratnya! Walaupun tidak sampai mengeluarkan peluh dan darah, namun cukup membuang energi hati dan pikiran. Sempat terjadi debat kusir dalam hati, juga berpikir keras kalau tidak sekarang lalu kapan lagi. Diri ini pun terus memeras otak, mungkin saja kesempatan itu tidak lama atau kalau lama sekalipun diri ini bisa apa untuk mewariskan ilmu berharga kepada buah hati atau generasi selanjutnya. Sedemikian diri ini berjuang dan ternyata ‘berhasil’ memenangkan pertempuran sesaat ini. Diri ini berusaha menyetorkan hasil belajarnya kepada belahan jiwanya. Karena bagi diri ini, belahan jiwa bukan sekedar “half is mine” melainkan sesosok rekan kerja yang berfungsi sebagai korektor. Tidak terasa dalam seratus enam puluh delapan jam, diri ini sudah sampai pada ayat ketiga puluh dari empat puluh ayat QS. An-Naba’ berikut terjemahannya. Ini berarti diri ini hanya butuh dua puluh empat jam lagi untuk menyempurnakan satu surat di halaman pertama pada juz tiga puluh dalam sebuah kitab suci. Subhanallah, sungguh luar biasa leganya!
Namun justru disinilah letak kelemahan diri ini. Cepat sekali puas. Mudah sekali terlena akan kebanggaan-kebanggaan baru. Dan terus terbius akan keberhasilan pencapaian pribadi. Hingga diri ini tidak menyadari bahwa pada saat itulah diri ini sebenarnya belum berhasil. Belum melakukan apa-apa. Bahkan tidak memulai apapun. Ibarat sebuah pepesan kosong. Sudah disiapkan matang-matang namun tidak berisi. Just do nothing. Ironis sekali!
Dengan segala kekuatan hati, diri ini mencoba untuk bergerak kembali. Menggeliat dan bangkit. Mengumpulkan satu demi satu patahan-patahan puzzle semangat yang tercecer, nyaris berantakan. Hingga diri ini menjadi sosok yang berbeda, sosok yang baru, nyaris sempurna. Dan mulai mereview serta mereplay memori yang telah lalu. Hafalan surat ketujuh puluh delapan Makiyyah dari Al-Qur’anul Karim. Tertatih-tatih diri ini mencoba mengingat kembali pola-pola unik yang terjadi pada bacaan dan tafsir di tiap ayatnya. Tidak terlalu buruk untuk dinilai. Hanya saja agak tersendat dan tidak selancar dahulu. Dalam hati, diri ini berbisik ‘wajar’. Bahkan ada selentingan suara sumbang dalam diri ini bernada meremehkan, menggampangkan, dan menyepelekan. Ah, seperti itu-itu saja ayatnya, bisa lah kalau dibuat teknik ‘jembatan keledai’. Parahnya, ternyata diri ini melakukannya dengan sengaja dan terkesan tidak peduli dengan kesengajaannya itu. Diri ini lalu mengabaikannya. Hingga terlanjur melalaikannya.
Sementara pada kesempatan yang lain, pada suatu Subuh yang menenangkan, diri ini pernah membuka kitab paling suci sedunia akhirat dan tepat berada di surat Ali-‘Imran ayat 145. Allah berfirman ‘’sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’’. Masya Allah! Terlebih setelah diri ini mengetahui ayat tersebut merupakan ayat teguran bagi para sahabat Rasul yang tidak berdisiplin. Sungguh, diri ini merasa sangat tersindir. Bukan persoalan diri ini sebagai sahabat Rasul. Justru ‘hanya’ sebagai umat Rasul saja itulah, kok bisa-bisanya diri ini berjalan melenggang seenaknya di atas bumi Allah. Tiba-tiba saja diri ini merasa semua jari telunjuk para makhluk mengarah ke diri ini sebagai terdakwa.
Ini jelas bukan sekedar syaitan. Bukan sekedar syaitan yang sudah mempengaruhi diri ini untuk tidak apa-apa tidak melakukan janji-janji yang sudah tercatat. Bukan sekedar syaitan yang sudah membujuk hati ini untuk boleh-boleh saja menunda-nunda pekerjaan. Bukan sekedar syaitan yang sudah merasuki pikiran ini untuk menganggap wajar melanggar komitmen buatan sendiri. Bukan sekedar syaitan yang sudah menyuruh keinginan diri ini untuk mengulur-ulur waktu. Juga bukan sekedar syaitan yang menjadi tersangka utama dalam skenario pelanggaran undang-undang pribadi ini.
‘’Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu’’
-QS. Al-Baqarah: 208-
Adalah syaitan yang berada dalam ‘diri ini’. Syaitan yang sudah menjelma menjadi ‘diri ini’. ‘Diri ini’ yang lain tapi tetap berada dalam diri ini juga. ‘Diri ini’ melawan diri ini. ‘Diri ini’ lah musuh yang nyata bagi diri ini. ‘Diri ini’ lah yang sudah memerintahkan dan menggerakkan segenap diri ini menjadi tidak bergerak. Tidak berfungsi dan tidak produktif. Menjadi diam. Menjadi MALAS.
Malas. Itulah kata yang paling representatif untuk mendeskripsikan sifat dan karakter yang melekat pada diri ini. Sungguh telah berdosa diri ini sudah ‘menuduh’ syaitan yang bukan-bukan. Entah sudah berapa kaya diri ini mengoleksi suatu hal yang bernama dosa. Bahkan bisa dikatakan diri ini lebih rendah daripada syaitan. Astaghfirullah. Na’udzubillah!
Tidak bermaksud membela syaitan. Walaupun sempat juga terlintas dalam pikiran, kasihan juga ‘ya syaitan terus yang disalahkan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dosa pasti syaitan yang memulai. Atau mungkin segala perbuatan yang berbau haram pastilah syaitan juga yang mempengaruhi. Menggelikan sekali. Atau mungkin memprihatinkan sekali. Hanya sebagai peringatan untuk diri sendiri, bahwa cukuplah sudah mengkambinghitamkan sesuatu dalam rangka pembelaan diri. Ataupun mencari tameng dalam rangka perlindungan diri. Lihatlah saja ke dalam diri ini. Berinstropeksilah. Berevaluasilah. Karena pada dasarnya ‘diri ini’ lah yang menjadi biang kerok atas semuanya. Karena sekali lagi ‘diri ini’ lah yang malas. Bukan lagi syaitan juga bukan siapa-siapa.
Beruntung diri ini karena Allah Maha Pengampun. Allah Maha Pemaaf. Allah Maha Penolong. Pada janjinya yang terbentang di surat Ali-’Imran ayat 133-136, Allah berfirman ’’Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya, sedang mereka kekal didalamnya. Dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal’’
Subhanallah. Allahu Akbar!! Diri ini sudah sangat keterlaluan. Sudah sangat kurang ajar. Astaghfirullah. Jangan sampai diri ini menjadi makhluk yang tidak tahu berterima kasih. Menjadi makhluk yang hanya mengandalkan satu ayat yang berbicara tentang ampunan setelah membaca satu ayat lainnya yang berbicara tentang laknat. Berpikir tidak mengapa diri ini berbuat dosa toh Allah ‘kan Maha Pemaaf. Masya Allah. Astaghfirullah. Astaghhfirullah. Astaghfirullah. Na’udzubillah!
‘’Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang’’
-QS. Al-Baqarah: 159-160-
Bahkan jauh sebelum diri ini lahir ke dunia karena rahmat Allah, Allah sudah menjelaskan segala sesuatu dampak baik dan buruk dari perbuatan yang akan diri ini lakukan. Sungguh Allah Maha Mengetahui! Allah Maha Besar! Allah sudah teramat adil. Diri ini tercipta sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhlukNya yang lain. Yang menjadi pembeda adalah akal dan hati. Dengan keduanya diri ini tidak hanya sekedar mampu berpikir, akan tetapi lebih dari itu. Diri ini mampu memilih jalan yang Diridhoi, bahkan mengambil keputusan yang paling kecil hingga besar, ataupun yang paling sepele hingga penting sekalipun hanya karena Allah. Kalau memang ‘diri ini’ mampu berbuat tidak benar, lalu mengapa diri ini tidak mampu berbuat yang tidak salah. Kalau memang ‘diri ini’ sanggup memilih jalan yang menyimpang, lalu mengapa diri ini tidak sanggup memilih jalan yang lurus.
‘’Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian’’
‘’Melainkan yang beriman dan yang beramal sholeh’’
‘’Juga nasihat kepada kebenaran dan kesabaran’’
-QS. Al-Ashr: 1-3-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar