Senin, 21 Februari 2011

Saya Anti Demokrasi

*)Sumber : Buku Emha
http://www.goodreads.com/book/ show/1380373.Iblis_Nusantara_ Dajjal_Dunia

Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas -asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam-, harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau Amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam. "Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis.

Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam. Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam. Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlege dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka. Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu...". Lho kok Arab bukan etnis? Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam, menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap. Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya.

Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia. Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya.

Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya. "Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri. Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak.

Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Rabu, 16 Februari 2011

Aku Rindu...

17 February 2011

Senja kala sang surya bersiap ke peraduan
Meninggalkan bayang-bayang sepanjang jalan berbatu
Hari mulai gelap
Gelap karena malam menjelang
Pula karena tertutup bayang-bayang

Aku teringat…
Bagaimana wajah ibu
Aku teringat pula…
Bagaimana tutur kata ayahku disaat merindu

‘Haru…
Selalu saja aku terharu…
Rindu…
Selalu saja aku merindu…’

Air tampak tenang
Tak satupun perahu bergeming
Dan tak banyak pula suara terdengar
Hanya nyanyian alam sederhana dan selebihnya hening

Aku teringat…
Bagaimana wajah ibu
Aku teringat pula…
Bagaimana tutur kata ayahku disaat merindu

‘Tersenyum…
Selalu saja ibumu tersenyum…
Syahdu…
Selalu saja ibumu bersenandung lirih nan syahdu…’

Aku teringat…
Di tempat itu mereka selalu bersama
Selalu menguatkan satu sama lain
Bahu membahu merajut masa depan ‘kami’

Aku teringat…
Di rumah itu mereka membekali ‘kami’
Dengan goresan-goresan yang begitu berarti
Dan akan selalu berarti di sepanjang hamparan hidup ‘kami’

Ayah… Ibu…
Aku rindu…
Aku rindu semua itu…
Aku rindu bagaimana engkau membelai rambutku…

Aku rindu kebersamaan kita…
Mungkin bukan cuma aku
Tapi kami semua…
Kami semua rindu kebersamaan itu
Kami semua rindu rumah itu
Kami semua rindu tanah itu
Seberapapun jauh kami terbang
Seberapapun banyak beban
Seberapapun harapan kami pada pencapaian
Kami tetap merindu…
Dan, rindu ini adalah rasa yang terbaik dalam hidup kami…

Ibu… seuntai doa untukmu selalu kami panjatkan
Agar engkau bahagia di ‘sana’
Ayah… semoga kita bisa lebih banyak waktu untuk bersama…
Saling menguatkan satu sama lain
Walaupun tak seperti bagaimana ibu menguatkan engkau
Aku akan selalu berusaha…

Ayah… Ibu…
Aku rindu…