Kamis, 16 Oktober 2008

Jadi FTM, Berani ??!!

oleh: Kushidayati Septarini
seorang FTM (Full-time Mom) yang dulunya sempet jadi seorang WM (Working Mom)
*diambil dari milis HEBADD!!*



Setelah memutuskan untuk berhenti bekerja, saya sendiri juga butuh waktu setahun lamanya untuk merasa yakin inilah yang terbaik untuk saya dan keluarga. Berikut alasan-alasan yang mungkin juga bisa membuat mbak merasa bangga menjadi ibu rumah tangga :


1. Anak adalah amanah dari Tuhan.
Kewajiban kitalah sebagai orang tua yang melahirkan untuk membesarkan dan mendidik mereka, menjadikan anak-anak kita generasi yang sehat, cerdas, beriman, dan berhasil dalam hidupnya.
Kita semua tahu, periode emas tumbuh kembang anak (baik fisik maupun psikis) adalah dari usia 0-10 thn.
Relakah selama masa itu anak-anak kita lebih banyak diasuh oleh baby sitternya, kakek nenek, atau saudara?? Bisakah kita membentuk anak-anak kita sesuai keinginan kita padahal kita hanya sedikit punya andil atau waktu dalam proses di dalamnya?

2. Tugas mencari nafkah adalah tugas seorang ayah.
Memang kedengarannya klise tapi memang itulah gambaran sebuah keluarga ideal, dalam agama apapun, dan di negara manapun.
Dari seorang ayahlah, anak diajarkan bagaimana bekerja keras, disiplin, kemandirian, dan kedewasaan hidup. Dan dari seorang ibu anak diajarkan kelembutan, kasih sayang, kesabaran, dan kesantunan. Dengan gabungan "perbedaan" peran ayah dan ibu inilah anak akan memperoleh keseimbangan psikis atau mental dalam tumbuh kembangnya.
Bagi saya, mengalihkan peran ibu kepada orang lain berarti mengalihkan pula amanah dan tanggung jawab yang telah Tuhan anugerahkan untuk kita, sayang bukan...??


3. Bagaimana dengan kondisi finansial??
Terus terang ketika saya berhenti bekerja penghasilan keluarga kami otomatis berkurang cukup banyak. Tapi, dengan sedikit menurunkan standar hidup, alhamdulillah kami bisa survive.
Waktu itu, kami mengurangi frekuensi jalan-jalan, memangkas anggaran belanja yang tidak perlu, mengatur pola makan dengan tetap memperhatikan kualitas, dan lainnya.
Yang perlu diketahui adalah bahwa kekurangan materi merupakan satu bentuk pendidikan anak juga. Dengan membeli baju dan sepatu yang tidak terlalu mahal, anak diajarkan hidup sederhana. Dengan mengurangi jajan di luar, anak diajarkan untuk hidup sehat (sudah tahu kan alasannya?). Dengan keterbatasan mainan, anak diajarkan kreatif memanfaatkan apa saja sebagai alat bermainnya. Dan dengan keterbatasan uang, anak diajarkan untuk menghargai uang. Bahkan dengan sekolah di tempat yang biasa (bukan tempat yang mewah dan mahal), anak diajarkan kepekaan sosial dengan sesama. Bukankah juga dengan ikut milis ini secara tidak langsung kita diajarkan untuk hidup hemat? (tidak perlu sering-sering ke dokter dan RS, tidak perlu banyak obat, tidak perlu makanan-makanan tidak sehat yang berharga mahal, dan lain-lain)
.
Materi memang perlu, tapi tidak perlu dana yang melimpah untuk menjadikan anak-anak kita anak-anak yang sukses, karena materi bukan segalanya. Mengapa kita lebih mementingkan kecukupan materi, sementara anak-anak kita kekurangan kasih sayang dan pendidikan dari ibunya sendiri?

4. Untuk aktualisasi diri, tidak perlu pekerjaan yang menyita waktu
seharian (dari jam 8 pagi - 5 sore).
Banyak peluang bisnis dan karir yang bisa dikerjakan di rumah. Bahkan aktif dalam kegiatan sosial di lingkungan rumah pun merupakan aktualisasi diri. Tak perlu minder dengan titel pendidikan yang tinggi tapi tak bekerja (formal). Kita sekolah sebagai bagian dari proses hidup, mencari kematangan berpikir, dan tentu saja, untuk mendapatkan pasangan hidup yang sekufu atau selevel pendidikannya dengan kita.


5. Coba kita renungkan, wanita bekerja hanya sebagai pelengkap.

Kebutuhan finansial keluarga, sementara pria bekerja karena merekalah tulang punggung keluarga masing-masing. Jika kesempatan kerja dan karir cemerlang banyak 'direbut' oleh kaum wanita, secara otomatis banyak pula kaum pria yang kehilangan kesempatan tersebut. Karena penghasilan mereka tidak mencukupi, mereka 'meminta' para istri mereka untuk bekerja pula. Seperti lingkaran setan bukan?
Maka, lebih baik kesempatan karir atau pekerjaan (formal atau kantoran) diberikan untuk para pria, sehingga mereka merasa tenang dalam mencari nafkah. Saya bisa memahami kenapa sebagian pria di tempat kerja sedikit 'cemburu' dengan para rekan wanitanya, karena merekalah yang harus menanggung beban keluarga lebih besar dibanding para wanita.


6. Banyak pelecehan (kata-kata, seksual, dan lain-lain) yang dialami para wanita ketika bekerja di luar rumah, baik di luar maupun di dalam kantor, sekecil apapun bentuknya.

Bukankah lebih terhormat (dan lebih terlindungi) jika para ibu tinggal di rumah serta mendidik anak-anak mereka? Sebagai renungan, Tengoklah ke dlm hati nurani kita, tegakah kita meninggalkan anak kita yang sakit di rumah karena harus mengejar deadline di kantor?
Kecewakah kita saat baru tahu anak kita sudah bisa mengucapkan kata pertamanya beberapa hari yang lalu? Merasa bersalahkah kita karena setiap pulang kantor hanya bisa melihat anak kita tertidur lelap?
Cukupkah waktu untuk memberikan kasih sayang sepenuh tenaga pada saat akhir pekan saja? Dari mana anak-anak kita bisa belajar berdoa, ditanamkan kegemaran membaca, diajarkan semangat berbagi dan peduli sesama, kalau bukan dari orang tua? Kita semua tahu, pendidikan di rumah adalah bekal penting kehidupan anak ketika mereka dewasa kelak. Dalam kenyataannya, para baby sitter, kakek nenek, om tante yang mengasuh anak kita punya kehidupan sendiri, punya masalahnya sendiri, dan tak akan bisa menyamai pendidikan sepenuh jiwa yang diberikan langsung oleh seorang ibu.

Bagi saya, kedekatan kualitas dan kuantitas dalam mendidik anak adalah ASI bagi kehidupan anak, sementara meninggalkan anak (untuk bekerja karena alasan syar'i atau darurat) adalah SUFOR. Bila tidak dalam keadaan 'gawat darurat', sebaiknya tidak usah dilakukan.


Saya disini tidak bermaksud menyinggung para ibu yang bekerja, ataupun membuat kontroversi yang tidak perlu. Saya sangat menghormati keputusan para ibu berkarir tersebut. Saya juga tidak men-judge bahwa anak-anak yang ibunya di rumah akan lebih sukses dibanding anak-anak yang ibunya bekerja, tidak sama sekali.
Masa depan itu hanya Tuhan yang tahu, kita hanya berusaha sesuai dengan yang kita anggap terbaik.

Hidup itu pilihan, dan bagi para wanita yang mengorbankan karir demi keluarga, jangan pernah menyesali pilihan tersebut.
Berbanggalah, dan tunggulah (hasilnya) nanti saat anak-anak kita jadi anak-anak yang berhasil dalam hidupnya, bukan hanya kesuksesan dalam bentuk materi, yang penting adalah menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, bagi agama, orang tua, dan negaranya.