Arif Bama (28 Nov 07)
Hari menjelang sore, aku berada di padang rumput nan luas, tempat di mana aku bermain semasa kecil. Aku berdiri memandang ke depan dengan sedikit diburamkan oleh titik embun dari kelopak mataku. “tidak, aku tak boleh rapuh disini…”.
Beberapa hari yang lalu, aku membaca sebuah buku yang berpesan untuk tidak bersedih. Bahwa manusia yang memiliki iman tidak seharusnya bersedih, takut dan juga kecewa. Dan aku sangat bersemangat untuk segera memahami dan menjadikannya sebuah prinsip nan kuat.
Tapi, saat ini… entah karena labilnya jiwaku yang masih muda, atau mungkin karena jiwaku yang manja, atau bahkan mungkin karena kerinduan yang dalam tiada tara, hatiku menjadi serasa mengharu biru, lelah, sedih, dan bahkan juga takut.
Apa yang menyebabkan itu semua? Dan ternyata aku memang bukanlah seseorang yang bisa mengobati “hati yang sakit”, walaupun itu hatiku sendiri.
Serak nan lirih aku dengar sebuah do’a melantun, aku mengerti benar maksud do’a itu.
Adalah seorang lelaki tua, dengan baju putih bersih dan sarung kecoklatan. Rambut nan mulai memutih tertutup kopiah di kepalanya. Aku memandangnya sedang berdo’a. Matanya mulai berkabut merah, menggambarkan dalamnya penyerahan diri dalam do’a yang dia panjatkan. Kerut-kerut di wajahnya nampak jelas, melukiskan betapa beratnya beban kesedihan dan kerinduan di pundaknya, dengan jari jemari yang tegak menembus langit nan merah, menunjukkan keyakinan yang melebihi batas kedzohiran dunia.
Aku tak pernah lepas menatapnya, “tak sedikitpun akan kulepas…”. Aku seharusnya tahu apa yang ia rasa, tapi ternyata tidak…, “aku tak akan pernah bisa menggapai kesedihan yang dirasakannya saat ini”.
Duduknya nan tegak di atas batu putih sekilas membuatnya nampak lebih muda, dan menutup semua kerapuhan fisiknya. Kekuatannya sewaktu berdo’a seakan sebuah api membara nan tak kenal lelah. “Seharusnya aku banyak belajar tentang semangat kepadanya”.
Langit semakin memerah tanda sore akan tenggelam, aku masih berdiri di sini, dan lelaki itu mulai menggerakkan tangannya, mengumpulkan serpihan tanah untuk kemudian menaburkannya diatas gundukan tanah yang retak merekah oleh panas matahari di siang tadi. Tangannya sedikit gemetar menggaruk tanah kering yang mulai ditumbuhi rerumputan. Aku mencoba membantunya…
“Sering-seringlah berkunjung ke sini…!, agar kau selalu teringat akan kehidupan sesudah ini. Di sini juga banyak terukir sejarah perjuangan nenek moyangmu… sekali-kali tengoklah kebelakang agar kau tak jadi orang yang sombong, dan kelak jika cita-citamu tercapai kau tetap selalu mengingat kami dalam do’amu”, ucapnya lirih.
“Kadang kita lupa mendo’akannya jika di rumah, tapi di sini… kita tak mungkin lupa untuk mendo’akannya”. Dengan sedikit menggumam layaknya keluhan ia berucap “Jika saja jalan setapak ini lebih mudah untuk dilewati dan tempat ini lebih dekat, tentu aku akan kesini sendiri setiap hari, sayangnya kaki ini sudah terlalu rapuh untuk berjalan sejauh ini”. “Rawatlah tempat ini sebisa mungkin, pakailah petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dalam kau merawatnya, badanku sudah berumur, sudah waktunya yang lebih muda yang meneruskannya, aku akan membantu dengan pemikiran”. Lanjutnya.
“Maghrib akan datang Nak, ayo kita pulang!! Biarkan ibumu beristirahat, esok kita kunjungi lagi sebelum kau berangkat kerja, agar tak sedikitpun cambuk malaikat kubur menyentuhnya, agar tak sedikitpun percikan api neraka menjilatnya, dan agar nantinya kita dipertemukan kembali di tempat yang mulia”. Ucapnya sambil mulai berdiri dengan bertumpu pada batu nisan putih di depannya.
Aku meraih tangannya, menuntunnya untuk kembali. “Aku akan lakukan Pak!! Insya Allah!!” Aku berkata lirih. “Ya Allah, betapa aku menyayanginya… betapa aku menghormatinya… betapa aku mencintainya.” Aku meneteskan air mata. “Didiklah aku menjadi pejuang sepertimu… do’akanlah aku agar jadi pejuang Allah sepertimu, karena dalam darahku ada darah pejuang darimu dan dari istrimu”.